Chapter 20 : Pertarungan Terakhir (5)

47 11 22
                                    

Konten ini mengandung khayalan yang bersifat tidak nyata. Mohon para pembaca bijak menanggapi.

"Akh!" ringis Guinevere ketika pukulan orc yang besar berhasil menghantam nya menyebabkan tubuhnya melayang dan terjatuh di tanah sehingga menimbulkan suara yang keras.

"Guin!" teriak Lancelot menghampiri adiknya itu kemudian membawanya mundur dari pertarungan.

"Aw, punggungku sakit," keluh gadis berambut coklat bergelombang tersebut mengaduh kesakitan.

"Sudah kubilang, kau masih amatir. Jangan dulu ikut dalam pertarungan. Meskipun sihirmu kuat, tapi fisikmu tidak," nasihat Lancelot.

Guinevere memutar bola mata malas. Ia sudah merasa muak mendengar ocehan dari kakaknya yang menurutnya tak penting. "Jika aku hanya diam, aku tak akan berkembang," balasnya.

"Guinevere," Lancelot menekankan nama adiknya tersebut. "Jangan membantah," perintahnya.

Merasa kesal, Guinevere lantas menyalangkan matanya dengan bersungut-sungut. "Dan jangan bersikap sok peduli padaku!" pekiknya.

Odette yang berada tak jauh dari dua beradik itu lantas kaget ketika adik iparnya menaikkan nada suaranya.

"Aku muak, sangat muak!" geram Guinevere. "Kepedulianmu padaku hanya bersifat kata-kata, dan bukan tindakan!"

Lancelot terperangah dan terdiam. Meskipun adiknya sering keras kepala dan membantahnya, gadis tersebut tak pernah melototkan matanya padanya.

"Di mana kau selama ini ketika aku membutuhkanmu?! Di mana kau ketika aku dipaksa untuk mengikuti perjodohan bodoh yang aku benci?! Di mana kau ketika aku membutuhkan pelukan seorang kakak ketika aku membutuhkan ketenangan?! Di mana?!" sembur Guinevere mengeluarkan perasaannya yang terpendam.

Kini gadis itu terengah-engah karena kelelahan, sedangkan sang kakak hanya diam seribu kata.

Bahkan Lancelot mengalihkan pandangannya ke arah lain tak berani membalas tatapan Guinevere.

Tidak, dia bukan tak berani. Melainkan malu.

Odette pun juga tak bisa berkata apa-apa. Hal ini bukanlah urusannya, dan dia tak berhak untuk ikut campur permasalahan antar kakak adik.

"Apa yang mereka lakukan? Bukannya bertarung, malah sibuk bertengkar. Telingaku jadi sakit," gumam Carmilla menutup kedua gendang telinganya.

"Milla, jangan berkata seperti itu," peringat Cecilion dengan tutur kata seperti air yang mengalir lembut di sungai.

Carmilla bersedekap. "Tapi, Lion. Kita sudah susah-susah melawan musuh terkuat di sini, tapi mereka malah sibuk dengan urusan lain."

"Tidak apa. Yang terpenting kita sudah mengalahkan musuh kita. Tugas kita sudah selesai."

Perkataan Cecilion membuat Carmilla mengarahkan pandangannya ke depan di mana Alice telah tergeletak tak berdaya karena serangan mereka berdua.

Lebih tepatnya, serangan Cecilion. Carmilla hanya menahan badan seraya memastikan tak ada yang menganggu pertarungan kekasihnya.

"Kalian ... pasangan tak tahu diuntung," berang Alice tak terima dengan kekalahannya.

Ratu Kejahatan itu berusaha kembali untuk mengeluarkan kekuatannya, namun naas ia sudah tak kuat lagi.

Sepasang kekasih yang menjadi musuhnya tersebut telah menyerangnya dengan habis-habisan.

Mungkin ... sebentar lagi dia akan menemui ajalnya.

"Aku memang tak suka menganggu," ujar Cecilion sembari mendekati Alice yang tertelungkup di atas tanah.

Carmilla hanya menyaksikan punggung kekasihnya yang bergerak mendekati Ratu Kejahatan itu.

The Little Redhood and The Vagrant PoetWhere stories live. Discover now