Epilog

91 8 76
                                    

Konten ini mengandung khayalan yang bersifat tidak nyata. Mohon para pembaca bijak menanggapi.

Bumi dilanda musim dingin, di mana tidak sedikit tanaman yang pupus karena ribuan butiran es menyatu.

Udara telah sampai di titik negatif, sehingga membuat siapa saja akan menggigil kedinginan ketika tubuh tidak disertai pakaian dan selimut yang hangat. 

Jendela di kamar itu tidak lagi bening, dikarenakan uap yang sangat dingin melapisi kacanya.

Bergelung bersama seseorang yang dicintai di musim dingin, menjadi kegiatan favorit Ruby setiap tahunnya.

Meskipun dia sudah terbangun dari tidurnya sejak tadi, gadis itu enggan untuk bangkit dari tempat tidur mereka.

Ruby semakin membenamkan wajahnya di dada kekasihnya yang hangat, seraya mendekap lelaki tersebut semakin erat.

"Aku bisa mati jika kau memelukku lebih kencang dari ini." Granger yang terbangun dari tidurnya bergegas mendekap kekasihnya itu tak kalah erat.

Kekehan terlayang dari bibir Ruby yang tengah tersenyum di dalam pelukan mereka.

Gadis itu kembali menyelami kehangatan yang berasal dari tubuh mereka masing-masing.

"Perasaanku hari ini lebih dingin dari kemarin. Aku jadi malas bergerak," celetuk Ruby memejamkan matanya.

Granger meletakkan dagunya di atas kepala kekasihnya. "Kau lupa? Minggu lalu Gusion dan Lesley mengirim undangan pernikahan mereka."

"Ya terus? Memangnya kenapa?" Ruby menarik wajahnya dari dada kekasihnya.

"Apa kau tak membaca undangannya? Pernikahan mereka dilaksanakan hari ini," ujar Granger.

"Serius? Mereka mengadakan pernikahan di tengah-tengah musim dingin seperti ini?"

"Kukira juga awalnya aku salah membaca tanggalnya. Tapi setelah kulihat lagi, aku memang tak salah."

Ruby kini menarik napas panjang. "Padahal aku ingin bermalas-malasan hari ini."

Granger mengecup kening kekasihnya. "Kita bisa melakukannya di lain hari." 

Dalam satu gerakan, Ruby menempatkan dirinya di atas Granger. Ia menangkup wajah tampan yang ada di bawahnya.

Sedangkan kedua kakinya berada di sebelah pinggang kekasihnya bertugas menahan berat tubuhnya.

"Ada apa, Edelweiss?" Granger memeluk pinggang Ruby seraya menyampirkan helaian rambut emas gadis itu yang terjatuh ke wajahnya.

Panggilan itu.

Ruby merasakan rasa menggelitik di hatinya ketika kekasihnya memanggilnya dengan nama tengahnya.

"Tidak ada. Aku hanya suka melihat dirimu di bawahku." Senyuman penuh arti terlukis di wajah cantiknya.

Kalungan tangan kiri Granger pada pinggang Ruby mengerat, dengan tangan kanannya yang mulai mengelus wajah kekasihnya.

Granger tersenyum miring. "Kau tak tahu betapa sukanya aku ketika kau bersikap agresif terhadapku."

Ruby terkekeh dengan wajahnya yang mulai menurun mendekati wajah kekasihnya.

Ketika mereka baru saja ingin mempertemukan kehangatan yang ada pada bibir mereka, detik itu juga suara perut Ruby yang berteriak kelaparan terdengar.

"Sepertinya aku harus membuat sarapan." Lantas Ruby beranjak dari tempat tidurnya.

"Sudah jelas," celetuk Granger masih berbaring di atas kasur enggan berdiri. "Apa kayu yang kupotong kemarin masih ada?" tanyanya.

Kemarin sore lelaki itu sempat menebang beberapa barang pohon dan dipotong menjadi lebih kecil agar lebih mudah untuk dijadikan penghangat ruangan.

The Little Redhood and The Vagrant PoetWhere stories live. Discover now