33

504 90 94
                                    

Malam nanti, ulang tahun Queena akan diselenggarakan dengan pesta besar-besaran dengan tema kerajaan.

"Sumpah gue bingung banget ini mau pake kostum apaan. Ya kali gue pake tali rafia terus gue bikin mahkota biar gue kelihatan mirip pangeran. Eh tapi apapun yang gue pake gue tetap ganteng sih," cerocos Mahdy dengan wajah bangga.

Monic yang sibuk membereskan buku paketnya di jam pulang sekolah mendelik sebal. "Lo bukannya kayak pangeran malah lebih mirip gembel, Dy."

"Idih, sirik!", balas Mahdy geregetan.

Orane menaikkan kedua alisnya saat Mahdy dan Monic sibuk membicarakan soal pesta ulang tahun Queena. "Pakai aja baju tema kerajaan. Ah, sewa aja nggak papa!" Orane memberi ide.

"Idih, disewa! Tapi boleh juga sih ide Lo," kata Mahdy mengusap dagunya perlahan. "Tapi Bapak gue udah beliin gue baju warna putih, sih."

"Baju warna putih? Baju daster yang diendorse Mbak Kunti?"

Mahdy berdecak mendengar celotehan Monic. "Bukan yang itulah, woy! Itu baju yang sering dipakai pangeran-pangeran di pesta dansa difilm Barbie."

"Wah, keren dong!" Orane memuji. "Pasti keren banget."

"Iya dong, gue ganteng." Mahdy berdecak. "Sayang banget Lo nggak mau datang, padahal kalau Lo datang, Lo bisa melihat penampilan gue yang tampan secara langsung."

Orane terkekeh. "Senang-senang deh kalian di sana. Maaf nggak bisa ikut."

Orane keluar kelas lebih dulu.

"Orane..."

Orane terkejut mendapati kehadiran Queena yang rupanya berada di dekat pintu kelas. "Kenapa?", sasar Orane tepat sasaran.

"Lo serius nggak mau datang ke ulang tahun gue?"

"Nggak bisa, gue mau jualan."

Queena menyelipkan rambutnya di belakang telinga. "Yaudah, nggak papa. Tapi kalau gue pesan minuman ke Lo, Lo mau buatin nggak?"

Alis Orane terlihat hampir bertaut. Ia keheranan dengan tingkah Queena saat sekarang ini. "Serius mau pesan minuman di kedai gue? Cafe dan restoran banyak kok, Queena. Lagian juga pesta ulang tahun Lo nggak bakal cocok juga sama minuman yang gue jual itu."

Queena menggulum bibir. "Lo ... masih marah saat gue milih temenan sama Richela?"

"Nggak, gue nggak pernah marah." Orane buru-buru menyanggah. "Lagian gue cuma memberikan saran."

"Jadi boleh dong gue mesan minumannya ke Lo aja?"

Orane mengangkat kedua bahunya cuek. "Gue kabarin kalau gue emang bisa buatin. Gue duluan."

Orane berlalu meninggalkan Queena. Ia harus cepat pulang ke rumah.

"Queena ngomong apa sama Lo tadi?"

"Eh, astaghfirullah!"

Orane terkejut mendapati Richela yang berdiri di dekat pilar koridor dan baru keluar saat Queena juga turut berlalu. "Gue penasaran, makanya gue nanya. Gue harap Lo mau jujur, Orane."

Demi Tuhan, Orane merasa tidak enak menyembunyikan fakta ini lebih lama.

Hanya saja, ia tidak terlalu siap membendung resiko yang akan ia lihat ke depannya.

"Gue harus tegaskan, gue beneran curiga sama Queena. Lo dulu pernah jadi sahabatnya, untuk itu gue harap Lo bisa kerjasama."

Orane bergetar kecil. "Kenapa ... harus gue?"

Richela tertawa pelan. "Badan Lo gemetaran. Gue yakin Lo tahu sesuatu soal masa lalunya Queena."

Kaki Orane bergerak mundur selangkah mengakibatkan semakin bertambah juga rasa curiga yang Richela miliki. "Gue mulai menyelidiki masa lalu Queena. Gue nggak nyangka ternyata dia pernah satu sekolah sama gue, di SMP."

FOUR : Fagan,  Orane, Vasaya, RichelaWhere stories live. Discover now