35

486 95 116
                                    

Orane menghembuskan napas lega ketika ia berhasil keluar dari kerumunan orang-orang dengan bantuan Bik Mimi.

"Hadeuh, kerumunan orang ternyata nggak lebih bahaya dibandingin ketemu dan hadap-hadapan sama si Fagan."

Orane berdecak pelan. Ia harus segera pulang ke rumah setelah menerima uangnya. Lagipula, di depan sana supir pribadi keluarga Queena sudah mengantar sisa minuman yang sudah Orane buat.

"Non Orane, kata Non Queena uangnya ada di dalam."

"Hah? Jadi saya harus masuk lagi ini, Bik?"

"Iya, Non. Non Queena yang minta."

Orane mengerutkan kening. "Ada yang nggak beres nih kayaknya," gumamnya. "Yaudah, saya masuk lagi yah, Bik."

Dengan langkah pelan Orane kembali masuk ke dalam rumah Queena. Demi bayarannya ia harus masuk kembali ke dalam rumah Queena. Ia berdoa agar urusannya di sini segera selesai.

"Mana si Queena?", gumam Orane tidak mendapati keberadaan Queena yang katanya sedang menunggunya.

"Akhirnya usaha gue nggak sia-sia buat mancing Lo datang ke sini."

Orane mengerutkan kening ketika suara familiar itu menyapanya. Ia menoleh cepat dan terdiam saat Queena berdiri tak jauh darinya. Gadis itu terlihat cantik dengan balutan gaun Cinderella.

"Oh, jadi ini Lo rencanain juga?" Orane bertanya geram. "Apa lagi yang mau Lo lakuin sekarang..." Orane terdiam lalu menyambung kembali kalimatnya. " Andin?"

Wajah Queena berubah drastis saat Orane menyebutnya sebagai Andin. "Gue bukan Andin, jangan panggil gue dengan nama itu! Gue nggak suka!"

"Dan Lo pikir gue juga suka Lo mainin begini? Lo sadar nggak sih nginjakin kaki di sini bikin gue tertekan?" Orane mendengus. "Uang gue mana? Gue mau balik!"

Queena menyerahkan beberapa lembar pecahan seratus ribuan kepada Orane. Tanpa berpikir panjang Orane berbalik badan dan siap meninggalkan tempat itu, sampai suara Queena menghentikan langkahnya.

"Bukan cuma Lo yang terpancing, tapi cewek sialan itu juga berhasil gue bawa ke sini," gumam Queena.

"Jangan macam-macam, Andin!", peringat Orane mendekat pada Queena.

"Gue udah bilang jangan sebut gue Andin! Andin udah lama mati! Yang ada cuma Queena Wijanarko!"

"Nggak ada! Yang ada hanyalah Queena Andini Wijanarko!" Orane menyangkal. "Lagian sekarang ultah Lo, jangan buat sesuatu yang buruk di hari pertambahan usia Lo ini."

"Kalau gue bisa menyamarkan nama gue walau itu cuma sebentar, lalu apa salahnya dengan penyamaran tanggal ulang tahun gue juga?"

"Andin! Lo beneran pengen ngebalas dendam? Lo sadar nggak sih kalau dia sama sekali nggak salah!" Orane berkata dengan sedikit membentak.

Queena terkekeh. "Dia salah atau nggak gue tetap benci dia. Lagian juga dia harus menderita, kan? Gue tahu dia nyari informasi soal gue, dan sialnya cewek itu tahu gue dulu pernah satu SMP sama dia. Well, kayaknya gue harus main dengan lebih rapi buat ngancurin dia pelan-pelan."

Orane terlihat tegang. Ia tidak sangka Queena, alias Andin yang menjadi sahabatnya sejak SMP itu sudah menjadi pendendam seperti ini. "Gue nggak nyangka Lo tega berbuat kayak begini. Lo punya banyak uang, kan? Lo merasa paling tersakiti, kan? Tapi kenapa Lo nggak gunain uang Lo buat cari tahu juga kehidupan pribadi dia? Lo menyalahkan dia untuk semua kesalahan yang sebenarnya nggak dia lakuin sama sekali. Lo salah sasaran! Lo iri lihat pencapaian dia, makanya Lo marah."

"Lo ngebela Richela? Si cewek sial dan berengsek itu? Padahal yang teman Lo dari dulu itu gue," balas Queena tajam dengan mata memerah menahan perasaan jengkel.

FOUR : Fagan,  Orane, Vasaya, RichelaWhere stories live. Discover now