77

726 94 243
                                    

Kedua sudut mata itu sudah bergelinang air mata. Keringat sudah mengucur diwajahnya. Tangannya mencengkeram sprei tempat tidurnya.

"ORANE!"

Fagan tiba-tiba terbangun dengan kondisi kedua matanya berair. Napasnya berhembus tidak teratur.

"Fagan, Fagan!"

Fagan mengalihkan tatapannya saat pintu kamarnya diketuk oleh Mama. Fagan mengusap pelan kedua matanya yang berair dan menemui Mama. "Nak, kamu teriak manggil nama Orane lagi, kamu kenapa?"

Fagan melangkah menujuke tepi tempat tidurnya. Tubuhnya lemas. "Tadi Fagan mimpi, Ma. Orane menghilang. Orane nggak ada di dunia ini lagi."

Kedua mata Mama mengerjap lambat. "Kamu sampai sekarang masih mikirin Orane? Padahal kamu sendiri yang bilang kalau kamu ..."

"Fagan nggak pernah jujur, Ma. Fagan bohong kalau Fagan bahagia tanpa adanya Orane."

"Kalau kamu tahu akan tersiksa begini hampir setiap hari kenapa kamu tidak pernah mau memperbaiki kesalahan kamu?"

Bukan Mama yang berujar, tetapi Papa yang masuk ke kamar Fagan. "Waktu SMA kamu sangat menjaga Orane. Papa tahu perasaan kamu mungkin ke dia semudah itu berubah-ubah."

Fagan menggeleng. "Perasaan Fagan ke Orane sama sekali nggak pernah berubah sedikitpun, Pa. Tidak berkurang juga."

"Terus, kenapa selama ini kamu kenapa memblokir nomornya dia? Menghindari dia? Bikin dia sakit hati meski dia tidak pernah mengeluh ke Mama atau Papa? Bahkan ketika kamu kembali ke sini, kamu tidak pernah memberitahu dia. Anak itu punya banyak kerinduan yang nggak bisa dia ungkapkan. Bahkan ketika kamu selesaikan kuliah S2, kamu mencegah teman-teman kamu ngasih tahu dia supaya dia nggak datang ke sini. Kamu anggap apa Orane selama ini? Kamu mempermainkan perasaannya, dan juga hidupnya." Papa berujar dengan wajah menahan amarah. "Papa tidak menduga kamu akan berlaku seburuk ini pada perempuan yang dulu sangat kamu jaga. Kalau perasaan kamu masih tetap buat Orane, kenapa tidak kamu akui? Kenapa kamu tinggalkan dia dengan banyak kesedihan seperti ini?"

Untuk kali pertama, Fagan menangis di depan orang tuanya karena ia merindukan Orane. Fagan akui jika ia memang melakukan kesalahan sejak awal masuk kuliah. Ia mempermainkan Orane, membuat gadis itu luar biasa sakit.

"Fagan menyayangi Orane, Ma, Pa. Untuk semua tindakan yang Fagan lakukan itu, Fagan punya alasan." Fagan mengusap wajahnya. "Fagan nggak pernah mau nyakitin Orane walau itu cuma seujung kukunya. Ngeliat dia nangis Fagan nggak pernah kuat."

"Terus alasan kamu apa?" Mama bertanya. "Kamu meminta dia berhenti untuk mengharapkan kamu sebelum kamu berangkat ke Makassar waktu itu. Tapi dia tidak berharap lagi, dia bahkan menunggu. Terus, kamu pulang ke sini dan tidak pernah bilang ke dia. Dia ke sini awalnya seperti orang yang kebingungan. Di sudut rumah dia tidak menemukan kamu. Terus, untuk selesainya masa studi S2 kamu, hanya Orane yang tidak kamu undang. Nomornya bahkan blokir. Mau kamu itu apa? Mama nggak akan biarkan kamu menyakiti dia lebih jahat dari ini, Fagan. Tidak akan."

"Ma, Pa, demi Allah Fagan mencintai Orane. Fagan punya keinginan buat menjadikan dia istri." Fagan bangkit dan membuka lacinya, mengeluarkan sebuah cincin emas dari sana. "Bahkan Fagan sudah punya pikiran untuk melamar Orane di tengah studi Fagan dulu. Tapi Fagan malu kalau mengajak Orane berumah tangga, sementara Fagan belum punya apa-apa."

Mama dan Papa saling pandang.

"Tapi kenapa kamu tidak lamar dia, Fagan?", tanya Papa.

Fagan tersenyum hampa. "Dulu memang Fagan mau melamar, tapi melihat Orane sekarang sepertinya dia nggak sudi lagi dekat dengan Fagan."

Mama menghela napas. "Sepertinya Mama harus jujur sama kamu. Soal Orane."

Fagan menatap Mama lekat. "Orane kenapa , Ma? Dia baik-baik aja, kan?"

FOUR : Fagan,  Orane, Vasaya, RichelaWhere stories live. Discover now