Aku memandangi Rafa yang akhir-akhir terlihat lebih pendiam daripada biasanya. Kami sedang berada di halaman belakang rumahku yang penuh dengan berbagai macam tanaman. Semenjak selesai sidang, aku menyibukkan diri dengan mengurus kebunku sembari menyiapkan berkas-berkas beasiswa. Rafa jarang bersamaku, mengingat dia disibukkan dengan persiapan ujian kelulusannya. Namun, aku nggak menyangka akan merasa jauh dengannya, padahal kami duduk berhadap-hadapan sekarang.
"Kamu kenapa, Fa?"
Rafa mendongak, mengalihkan tatapannya dari donat warna-warni buatan Mami, dan menatapku. Rautnya kebingungan. "Kenapa ... gimana?"
Aku menggigit bibir. Tiba-tiba merasa ragu untuk mengatakannya. Rafa punya banyak kesibukan dan kesenangan, yang nggak selalu ada aku di dalamnya. Aku bisa paham, tetapi rasanya aku nggak rela melihat dia begini. Diam-diam menjauh dariku.
"Lagi capek? Ada ... masalah? Sekolahmu gimana?"
Rafa makin bingung. Meletakkan sepotong donat di tangannya pada piring, Rafa menatapku. "Harusnya aku yang nanya. Kamu kenapa, Kak La?"
Kami nggak saling bersuara sampai Rafa melengos. Kali ini, raut wajahnya bukan lucu, melainkan ... dingin.
Aduh. Dia kenapa, sih? Marah karena kegiatan makan donatnya aku ganggu? Oh Tuhan, harusnya aku belajar dari pengalaman. Harusnya aku nggak ngajak dia ngobrol pas lagi makan, apalagi buat hal-hal yang bikin dia mikir.
"Gimana persiapan beasiswamu, Kak?"
Hah? Tiba-tiba? "Lumayan ...."
Kini, aku yang bingung. Rafa, kenapa kamu jadi sulit dibaca sekarang?
"Lumayan apa? Lumayan lancar? Lumayan kesulitan?" Rafa kini menatapku. Tatapan yang bukan hangat, lembut, maupun cerah. Dia menatapku seolah-olah aku sudah melakukan kesalahan yang nggak ingin ia maafkan. Oke, aku memang pernah mengalami ini dan kami baik-baik saja kemudian. Seharusnya aku berhenti merasa cemas dan fokus. Sayangnya aku nggak bisa.
"Kamu nggak mau ngasih tau aku, Kak La?" tanya Rafa lagi. "Karena aku bukan Mas Ryan yang ngerti soal beasiswa-beasiswa itu? Karena aku terlalu anak kecil buat diajak ngobrol soal itu? Atau karena sesuatu yang lain?"
"Sesuatu apa?" Spontan, aku mengembalikan pertanyaannya.
Laura, jangan nanya balik! Batinku menjerit protes.
Rafa menarik selembar tisu dari kotak untuk mengusap tangannya yang penuh gula, kemudian menenggak habis air dingin pada gelas di samping piring. Padahal donat di piringnya belum habis dan itu berarti Rafa masih akan berada di sini. Namun, melihat gesturnya, dia kelihatan ingin mengakhiri kebersamaan ini. Sekarang juga.
"Menurutmu apa?"
Aku menggigit bibir, lagi. Nggak menyangka akan saling balas pertanyaan dengan Rafa begini. Sejujurnya, aku bingung dengan apa yang tiba-tiba membuat Rafa melengos dan kelihatan sebal, tetapi bertanya padanya akan membuat pembicaraan ini makin keruh.
"Oke." Rafa berkata dengan nada final yang membuat jantungku berdebar makin kencang. Laki-laki itu hampir mengantongi ponselnya ketika aku buru-buru menahan.
"Fa ...." Aku meneguk ludah dan menatap Rafa cemas. Tanganku masih menahan tangannya. Merasa seakan-akan baru saja menjatuhkan diri ke jurang ketika mengatakan, "Aku nggak tau apa maksudmu. Aku nanya kamu kenapa, karena aku ngerasa kamu ... jauh ... akhir-akhir ini."
Rafa menatapku lama. Ia sangat asing, dan aku hampir menangis melihatnya. Lebih lagi
Aku hampir ingin menangis melihatnya yang sangat asing ketika dia mengatakan, "Kamu yang menjauh, Kak."

YOU ARE READING
Home
Short Story[Slice of Life about Adhitama's Family.] Home (n): the place where one lives permanently. *** Pulang ke rumah memiliki banyak definisi. Pulang adalah ketika kamu merasa nyaman dan aman dari kerasnya dunia, ketika kamu telah melewati perjalanan yang...