Series 30 - Lala versus Cantika: Who's Better?

4.2K 764 114
                                    

Disclaimer:

Series kali ini mengandung beberapa bahasan sensitif. Yang nggak begitu suka isu tentang kebebasan dalam memperlakukan diri sendiri, skip aja. I warn you, Dear.

Semoga kita bisa saling menghormati.

Happy reading!

***

Meski sudah menyiapkan diri dengan semalaman belajar di dapur—menghafal tiap-tiap bumbu dapur, hingga bahan dasar untuk membuat cookies—dan membaca buku resep milik Mamanya, Cantika tetap merasa gusar. Ketika mobil Ryan mulai memasuki kawasan perumahan tempat laki-laki itu tinggal, jantungnya semakin berdegup kencang.

"Mas...,"

"Apa?"

"Tante Talia beneran nggak ngasih clue kenapa ngundang aku pagi ini?"

Ryan melirik Cantika sekilas, sebelum mengurangi laju mobilnya. "Cuma bilang kalau pengen ngobrol bareng kamu sama Lala. Kenapa sih? Dari kemarin yang ditanyain itu terus. Keberatan sama ajakan Mama?"

Cantika menggeleng. "Nggak, lah. Aku takut kalau Tante Talia ngajakin berkebun atau eksperimen di dapur. Aku baru bisa masak cumi buat kamu waktu itu. Hafal bahannya juga karena aku ngulang-ngulang ngabsenin bumbu yang aku pakai. Kan bisa aja, di dapur Tante Talia, isinya beda lagi. Malah banyak macemnya. Aduh ... aku nggak bisa mikir harus gimana."

"Nggak usah dipikir, Can. Mama bukan tipe yang ada di bayanganmu," ujar Ryan sembari menghentikan mobilnya di depan pagar. Sebab ada mobil Lala yang menghalangi dan mobil Papanya yang kini sudah berada di depan garasi.

"Buang jauh-jauh ekspektasi itu. Mamaku nggak kolot. Mama udah melalui banyak hal di hidupnya, tau cara memperlakukan dan menghargai orang lain."

Cantika menggigit bibirnya dalam. "Yaudah biasa aja sih ngomongnya. Nggak usah pakai ngegas segala."

Ryan berdecak sembari mematikan mesin mobilnya. Lalu menoleh pada Cantika dengan tatapannya yang dingin.

"Aku nggak mau berantem. Capek. Kalau kamu emang nggak ikhlas sama ajakan Mama, kita puter balik. Aku anter kamu pulang. Biar aku yang cari alasan."

Cantika menghela napas dan mengembuskannya perlahan. Berusaha untuk tidak tersulut emosi.

"Iya, maaf. Aku nggak bermaksud nyinggung—"

"Tapi aku tersinggung," sela Ryan, cepat. "Kamu ngulang pertanyaan itu berkali-kali. Di telepon, di chat, di vidcall, di depan rumahmu, sekarang di mobil. Buat apa, sih? Kamu udah denger jawabanku sekali, tapi kamu nggak percaya. Padahal kamu juga udah ketemu Mama beberapa kali meskipun nggak lama. Mamaku ngerti caranya menghargai dan menghormati orang lain, Can. Kalau hal kecil kayak gini aja kamu ngeraguin dan nggak bisa menilai, gimana sama hal-hal yang lebih besar di depan kita nanti?"

"Iya, maafin aku. Aku yang salah." Cantika memberanikan diri untuk membalas tatapan Ryan. "Ini ... mau turun atau nggak?"

"Terserah," jawab Ryan tanpa berpikir. Terdengar embusan napas Ryan yang berat. "Kalau kamu ragu, kita puter balik sekarang."

"Nggak ... aku nggak ragu. Ayo turun."

Ryan tidak menyahut lagi. Laki-laki itu engambil dua kotak donat kesukaan Talia dari kursi penumpang dan meletakkan di atas pangkuan Cantika.

"Bilang aja kamu yang bawain, kamu yang pilih varian rasanya," ujar Ryan ketika Cantika menatapnya kebingungan.

Berkebalikan dengan mood Ryan yang sudah terjun bebas, Talia yang menyambutnya di depan pintu justru tersenyum senang. Wajah Talia berseri-seri dan memeluk Cantika dengan hangat, lalu mengajaknya menuju ruang keluarga. Bukan lagi ruang tamu.

HomeWhere stories live. Discover now