Series 55 - There's A Pleasant Hello After A Heartbreaking Goodbye

1.8K 245 45
                                    

Ryan dan Rafa tiba di Bali pukul empat sore. Layanan hotel menjemput mereka di bandara. Ryan merasa tidak memesan layanan penjemputan—karena kesibukannya beberapa hari terakhir membuat ia bahkan tak sempat berkemas dan memesan layanan itu jelas tidak ada dalam daftarnya. Sementara itu, fasilitas untuk undangan Konferensi Internasional yang akan ia dapat selama tiga hari ke depan hanyalah satu kamar tipe regular untuk dua orang dan layanan sarapan. Setibanya di hotel, keheranan Ryan bertambah ketika resepsionis memberi tahunya bahwa kamar yang akan dirinya dan Rafa tempati berganti menjadi tipe suites, sementara tipe itu hanya untuk pejabat-pejabat negara.

"Kami diminta langsung oleh Ibu Esterina Sandjaja."

Hanya dengan penjelasan itu, Ryan bisa langsung tahu apa yang akan segera dirinya dan Rafa terima. Adiknya nyaris bersiul gembira saat tahu kamar mereka bukan lagi ruangan yang hanya berisi ranjang dan perlengkapan sederhana, melainkan ruangan luas dengan balkon dan kolam renang pribadi menghadap laut. Ada undakan yang dibatasi pagar tinggi di tepi kolam renang, jalan untuk pergi ke pantai tanpa harus keluar dari area hotel ini.

"Kalau kamar kita begini, aku nggak keberatan nginap seminggu." Rafa melepas sepatunya asal-asalan, menggeletakkan koper dan ransel di dekat sofa, kemudian berderap menuju pintu kaca tinggi yang membatasi ruangan ini dengan kolam serta balkon. "Kita harus telepon Oma, Mas!"

"Ya, sebentar lagi kita telepon Oma, tapi koper-koper ini—"

Ryan tak menyelesaikan ucapannya karena mendengar kecipak air dari kolam renang. Saat menoleh, usai meletakkan barang-barangnya di sofa yang mengelilingi meja kaca berisikan berbagai macam makanan manis, ia mendapati Rafa menceburkan diri di kolam. Kecuali jaketnya, Rafa tidak melepas apa pun dan membiarkan pakaiannya basah.

"Harusnya kamu lepas kaus dulu, Fa!" Ryan mengambil ponsel dan tabletnya dari ransel sebelum menuju balkon. "Aku nggak punya waktu ngurus-ngurusin laundry jam—"

"Ini namanya buang sial abis patah hati, Mas."

Rafa berenang ke tepi, lantas tersenyum lebar padanya. Kontan, Ryan dilanda dejavu. Senyum itu hampir sepanjang hari dilihatnya saat mereka masih hanya tahu belajar dan bermain, bukannya bergulat dengan perasaan bimbang karena kehadiran perempuan yang membuat jantung berdebar-debar, bukannya merasa tidak berdaya karena melihat perempuan yang hampir seumur hidup bersama mereka tiba-tiba pamit untuk pergi.

Melihat senyum lebar adiknya, Ryan diserbu rasa rindu yang selama ini tidak ia sampaikan pada siapa pun. Ryan merindukan Rafa yang ceria dan tidak pelit senyum sampai rasanya ia siap melakukan apa saja untuk melihat itu lagi. Setelah beberapa bulan terakhir murung memikirkan hal-hal yang tidak pasti dalam hubungannya dengan Lala, Rafa berhak mendapatkan waktu untuk merasa tidak terbebani apa pun. Ryan berharap mengajak Rafa pergi sejenak dari Yogyakarta bisa memulihkan sedikit luka di hati adiknya.

Sekali lihat, tidak akan ada yang menyangka Rafa baru saja ditinggal pergi perempuan yang telah bersamanya selama belasan tahun. Jejak kesedihan dan frustrasi itu seolah-olah lenyap. Namun, Ryan tahu itu tidak benar. Rafa masih bersedih. Lukanya masih ada, hanya tidak tampak di permukaan. Bagaimana tidak? Bagian penting dalam hidup Rafa telah hilang. Peringatan itu ada, tetapi Rafa tidak mampu menerima kenyataan. Walau jarang dikatakan, Ryan tahu Rafa punya seribu satu pikiran pesimis di benaknya. Hanya Lala yang bisa membuat Rafa bersikap sebaliknya. Kini, perempuan itu pergi, membawa sebagian besar hal-hal baik yang mereka ciptakan bersama.

Mamanya beberapa kali menangisi Rafa diam-diam, mirip dengan yang terjadi ketika Ryan pergi dari Diva beberapa tahun lalu. Mengembalikan Rafa adalah tugas besar yang kini ada di pundak Ryan dan papanya.

"Mas?"

Ryan mengerjap, mendapati Rafa memandanginya dengan dahi berkerut. "Apa?"

"Ngapain ngelamun?" Rafa menyelisiknya. "Aku bisa urus sendiri, kok. Kamu turun jam berapa? Kita pesan makan dulu, ya, Mas? Jarang-jarang kita makan sore with a view gini."

HomeWhere stories live. Discover now