Rani tidak pernah menyangka suatu warna bisa tampak sangat cocok pada seseorang sampai ia melihat Rafa mengenakan kaus berwarna turquoise malam ini. Terdengar konyol, tetapi itulah yang akhirnya berani Rani simpulkan setelah lebih dari setengah jam duduk berhadap-hadapan dengan Rafa di ruang belajar pada lantai dua rumahnya.
"Ran?"
Seluruh pikiran, asumsi, dan khayalan di benaknya buyar saat suara halus Rafa menubruk indra pendengarannya. Rani mengerjap, menemukan laki-laki itu menatapnya lekat. Ada senyum teramat tipis di wajahnya yang malam ini tampak sangat berseri-seri.
"Ya?"
"Kamu kenapa?"
Senyum Rafa mengembang, merobohkan lapisan tipis pikiran koheren di benaknya. "Kenapa?"
"Kamu ngelihatin aku. Kenapa? Ada yang ... aneh di mukaku? Di bajuku?" Rafa menunduk, menggosok pakaiannya seolah-olah ada kotoran yang menempel sebelum menatapnya lagi. "Apa di rambutku? Tadi sore, aku memang—"
"Kamu ganteng."
Bukan saja Rafa, Rani pun terkejut dengan ucapan yang lolos dari bibirnya tanpa sempat dipikirkan dua kali. Ada keheningan canggung yang dipecahkan Rafa dengan tawa tidak kalah canggung.
"Oh ... what a compliment."
"Sorry."
"Sorry? Barusan salah? Aku nggak ganteng?"
Pipi Rani terasa panas. Malunya bukan main. "Bukan, bukan gitu maksudnya. Ganteng, kok. Kamu ganteng banget hari ini. Kausmu bagus, cerah. Cocok dipakai kamu. Ya, maksudku ... gitu. Aku ... takut aja—khawatir, kamu nggak nyaman dilihatin. Aku nggak bakal bilang nggak sengaja, jadi aku minta maaf."
Ketika ia berpikir Rafa akan kesal, atau setidaknya risih, karena bicaranya kalang kabut, laki-laki itu justru terkekeh. "Makasih udah dibilang ganteng. Aku happy karena kelihatannya kamu notice sesuatu yang baru di aku."
"Rambutmu, ya?"
Rafa mengangguk-angguk riang. Kedua lengannya bertumpu pada meja berkaki pendek di antara mereka. Wajah Rafa berada dekat dengannya. Rahang tegas Rafa teramat jelas dalam pandangannya. Rani bertanya-tanya, apa saja latihan Rafa sampai laki-laki itu tidak kelihatan seperti seseorang yang doyan makan karena tidak ada jejak yang begitu. Rani bisa melihat tulang hidungnya yang bagus. Agaknya subjektif, tetapi Rani tak menemukan kata-kata yang lebih cocok untuk menggambarkannya. Rani juga bisa melihat bekas luka teramat samar di sudut bibirnya, yang katanya pernah sobek saat kecil karena jatuh saat sedang menyikat gigi.
"Ternyata serius."
Rani mengerjap. "Apanya?"
"Kamu bilang aku ganteng." Senyum Rafa mengembang. "Kamu nggak kedip ngelihatin aku. Aku beneran ganteng, Ran? Baru sekarang atau dari dulu?"
Dari dulu, selalu. "Maaf, Raf, aku—"
"Nggak, jangan minta maaf. Aku malah bahagia kamu muji aku. Akhir-akhir ini, aku ngerasa kurang presentable. Makanku berantakan, olahragaku juga. Aku sering ngelewatin face care yang dikasih Mama di kamarku karena nggak punya motivasi. Aku baru pakai lagi kemarin, terus kepikiran potong rambut biar kelihatan agak fresh. Aku nggak tau apa bagus, tapi kamu bilang aku ganteng, jadi aku ngerasa ... apa, ya, kayak ... ditenangkan? Gitu, lah."
Senyum Rafa menjadi samar, kemudian Rani melihat cuping telinganya memerah. Tidak mungkin laki-laki itu tersipu, bukan?
"Kamu ganteng setiap hari." Sisi dirinya yang rasional meminta ia berhenti, sementara sisi dirinya yang jatuh hati pada laki-laki itu mendorong ia untuk lebih banyak mengatakan hal-hal yang ada di benaknya. "Kamu nggak pernah kelihatan nggak persentable. Waktu kamu abis olahraga, atau abis belajar Kimia tiga jam pelajaran, kamu tetap kelihatan ... presentable—ganteng. Kalau pakai istilahnya Dista, gorgeous."

YOU ARE READING
Home
Short Story[Slice of Life about Adhitama's Family.] Home (n): the place where one lives permanently. *** Pulang ke rumah memiliki banyak definisi. Pulang adalah ketika kamu merasa nyaman dan aman dari kerasnya dunia, ketika kamu telah melewati perjalanan yang...