Chapter 2. Payung Hijau di Lobi Hotel

3.6K 558 48
                                    

Payung hijau itu tidak kebetulan tertukar di lobi hotel.

Ini bukan taktik pertama yang dilakukan Ansel untuk bisa berkenalan dengan seorang gadis. Baik atau buruk kesan pada awal pertemuan tak terlalu menentukan bagi Ansel. Yang paling penting adalah menunjukkan pada seorang gadis bahwa dirinya ada di sekitar mereka. Ia tidak merisaukan kegagalan yang acap terjadi. Kegagalan selalu lebih baik bagi pemuda karismatik itu dibanding sebuah penyesalan.

Itu bukan tipuan. Itu hanya cara seorang pria mendapatkan apa yang diinginkannya tanpa melukai seorang pun.

Lebih sering, Ansel tidak dengan sengaja memilih mangsa. Dia nyaris tak punya waktu untuk itu, dan ini adalah solusi terbaik bagi kebutuhan biologisnya. Ansel tak malu mengakui, setidaknya kepada dirinya sendiri, bahwa hubungan percintaan sering membuatnya bosan. Ia tak pernah memungkiri, ia memang menentukan pilihan berdasarkan apa yang ia lihat. Beberapa kali di masa lalu ia menjalin hubungan dengan gadis-gadis menarik yang membuatnya ingin menemui mereka lebih dari sekali, tapi setiap kali gadis-gadis itu mempertanyakan keseriusan, Ansel kehilangan minat. Seketika ia hanya melihat mereka tak lebih dari kemolekan sebuah manekin. Kejadian tersebut terus berulang, dan ia pun mulai memutuskan yang terbaik untuk dirinya sendiri.

Payung hijau di tangan gadis berwajah melankolis itu menghubungkannya pada benda serupa yang lebih dulu disimpannya ke sebuah jambangan besar di lobi hotel. Dari bincang-bincang gadis itu dengan rekan kerjanya, Ansel langsung bisa menduga mereka berada di Tokyo dengan alasan yang sama. Ansel adalah produser sebuah acara televisi yang sudah tinggal di kota itu lebih lama untuk melibatkan diri dalam event kuliner besar dalam sejarah, dan dari perkiraannya, gadis berpayung hijau itu dikirim oleh sebuah majalah. Dia sengaja mengambil payung yang salah, dan kembali beberapa jam kemudian ke meja resepsionis untuk mengadukan benda miliknya yang tertukar.

Mia bahkan tak menyadari bahwa payungnya tertukar.

Secara fisik, Ansel tidak punya keluhan mengenai Mia. Tubuhnya sangat indah. Dia memiliki sepasang kaki ramping dan buah dada yang cukup besar untuk ukuran tubuh mungilnya. Rambutnya yang lurus seleher tidak terlalu istimewa, tapi demikian pas dengan leher jenjang dan bahunya yang kurus. Tentu saja ia cantik, teramat cantik. Namun, wajahnya yang jelita tak mampu menyembunyikan kegundahan hatinya.

Dalam sekali lihat, Ansel segera dapat memperkirakan apa yang terjadi, dan tahu dia akan segera dapat memanfaatkan kerapuhan tersebut. Ansel menduga ia memiliki seorang kekasih yang memenuhi kepalanya. Mungkin seorang pria posesif yang terus mengganggu kehidupannya sehingga ia tampak lebih letih, atau bisa saja pria membosankan yang tak bisa memuaskannya di tempat tidur sehingga bersitatap dengan pria bertubuh atletis berwajah adonis membuatnya gelisah.

Ansel ingin menerkamnya.

Itu kesan pertama yang dipikirkannya saat menangkap kekikukan Kalamia Modesta. Dia terikat, dan itu membuat semua pria yang tertarik pada lawan jenis semakin bersemangat. Termasuk Ansel.

Namun, Ansel tidak ingin Mia menganggapnya berusaha terlalu keras. Tidak ada perempuan yang pantas mendapatkan hal itu. Adalah sebuah kebetulan yang sangat menyenangkan saat sebuah kesempatan seakan menghampirinya semalam. Seluruh team produksinya mengadakan acara minum-minum di tempat yang sama dengan team Mia begitu event usai.

Dalam kalut pikirannya memikirkan Malik, senyum Mia perlahan terbit mendengar Ansel secara terang-terangan mengatakan bahwa ia sudah nyaris putus asa memikirkan cara untuk bisa berbicara dengannya, kecuali mengenai payung mereka yang tertukar.

Hal yang terjadi selanjutnya mengalir seperti air.

Tidur Ansel terusik.

Siang itu, lagi-lagi ia terjaga lebih dulu.

SwingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang