Chapter 9. 1994's Wine

1.9K 296 24
                                    

Mia masih ingat. Perlahan jemarinya yang tergamit tangan Ansel menyambut dan mengerat. Lelaki itu menyusulnya ke Haneda. Entah apa yang kemudian akan terjadi jika siang itu dia memutuskan mengabaikan panggilan dari nomor yang sudah tidak tersimpan dalam kontaknya.

"Kamu sudah di dalam pesawat?" tanya Malik di ujung yang jauh, tapi suaranya terdengar sangat jelas. Sangat nyata. Jauh lebih nyata dari janji-janji manis yang terucap dari bibir Ansel. Suara dingin yang datar itu seperti palu besar yang diayunkan ke dinding gelembung mimpi yang tengah dibangun oleh Ansel di atas hubungan semalam yang teramat rapuh.

"Aku bersama adikmu, Mia," sambung Malik dari Jakarta. Penuh arti.

Dan Mia tahu benar apa arti kalimat itu. Tubuhnya sontak bergidik. Satu ingatan suram di sebuah hotel kumuh beberapa waktu sebelumnya terbersit di benak Mia. Kemudian dengan mudah, dia melepaskan kait jemari Ansel. Terbang ke Jakarta dan kembali ke pelukan Malik. Beberapa waktu belakangan, mereka berdua melangsungkan pernikahan.

Adikmu bersamaku, Kalamia.

Tegukan ludah itu membuat Malik di sisinya menoleh sekilas. Bibir pria itu menyunggingkan senyum tipis, mengira lagi-lagi Mia tengah diserbu perasaan rendah diri menyaksikan betapa percaya dirinya tetangga baru mereka.

Malik melanjutkan meneliti satu demi satu gambar yang disusun rapi di dinding, beberapa di antaranya memperlihatkan tubuh Irma dalam bikini. Seorang pria yang sepertinya suami reporter cantik itu hanya muncul di beberapa bidikan. Malik mungkin bahkan tak sudi tampil satu kali pun dalam sesi berfoto seperti itu. Langit biru cerah dengan segelintir awan tipis dan permukaan laut yang berkilauan melatarbelakangi sebagian besar pengambilan gambar.

"Apa menurutmu kita harus punya foto bulan madu seperti ini?" bisik Malik dengan nada meremehkan. "Omong-omong... kita nggak pernah berenang di pantai...."

Malik baru menyadari keanehan sikap Mia setelah ia selesai mengamati gambar paling ujung dan tanggapan Mia tetap tidak terdengar. Dia mengharapkan Mia tertawa mengejek, menganggap kolase foto itu dipajang sebagai ajang pamer. Malik akan menyetujuinya, tentu saja. Dia tidak akan mau melakukan hal yang sama meski dibayar mahal.

Malik pun terpegun.

Kedua bola mata perempuan yang berdiri tepat di sisinya itu menyorot tajam, sekaligus hampa ke satu titik saja. Wajahnya pias. Apapun yang ditatapnya saat itu pasti sedang menyeret alam bawah sadarnya entah kemana, meninggalkan raganya kosong tak berpenghuni. Malik mengikuti arah jatuhnya cahaya yang memantulkan obyek pada garis lurus ke lensa mata Mia, dan bertanya dengan suara sangat pelan, "You know him?"

Pertanyaan Malik tertangkap jelas oleh indra pendengaran Mia, tapi otaknya yang sedang sibuk mengirim sinyal dari saraf optik menjadi sebuah bayangan yang saat ini membekukan tubuh perempuan itu seakan tidak mampu menerima sinyal suara dari telinga bagian dalamnya. Mia tidak bereaksi.

You know him?

Mulutnya gersang.

Kalau saja Malik tahu, Mia bukan hanya mengenal pria dalam gambar itu, dia hidup dalam imajinasinya. Istrinya bahkan sering mendambakan sosok bertelanjang dada dalam gambar-gambar cerah itu diam-diam, setiap kali Malik kesulitan memuaskan kebutuhan batinnya.

"Mia," panggil Malik sambil menyentak lengan Mia dengan sikunya.

Sentuhan kecil itu akhirnya mampu mengejutkan saraf-saraf sensorik dalam tubuh Mia yang sempat hampir kehilangan fungsi karena saraf pusatnya terlalu fokus pada satu hal saja. Kelopak matanya mengerjap, kesadarannya lebih dulu kembali sebelum ia menoleh membalas tatapan Malik yang mengamatinya dengan alis menukik curiga. Mia memaksakan ulasan senyum sambil menggeleng. Jari-jari tangannya yang lentik menyentuh pipinya sendiri, dengan cepat ia menciptakan kebohongan, "Apa menurutmu selebritas lain juga sevulgar ini? Memajang foto telanjang mereka di ruang tamu? Memalukan...."

SwingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang