Chapter 6. Sebongkah Protein dan Secercah Harapan

2.2K 335 22
                                    




Beberapa minggu kemudian

Cluster Permata Indah

Pintu belakang mengayun tertutup tepat ketika Mia membuka pintu depan. Di tangannya terdapat seloyang pai hangat yang belum lama dikeluarkan dari oven. Dia mendapatkannya dari penghuni cluster yang mendiami rumah di seberang.

"Bram sudah pulang?" tanya Mia.

Malik tengah bergeming menekuri selembar filet salmon seberat hampir dua kilogram yang diletakkannya di atas meja persiapan ketika Mia tiba di dapur dan meletakkan loyang alumunium tak jauh dari salmon-salmon Malik.

Pria itu refleks mengendus dan seketika tampak terganggu dengan kehadiran aroma harum daging panggang memenuhi ruang kerjanya.

"Kamu sudah berhasil mindahin Bram ke toko penyedia bahan makanan yang mau kamu jadiin pemasok tetap itu?"

Kedua alis Malik terangkat serempak sebagai jawaban.

"Aku punya gosip yang menurut tetangga-tetangga di sini sangat menarik," kata Mia bersemangat sembari mengambil dua buah piring dan sebilah pisau.

"Please," keluh Malik. "Jangan ganggu konsentrasiku, Mia."

"Dengar dulu," bujuk Mia. "Tetangga sebelah kita... mereka pasangan artis."

Malik masih terus menunduk, tapi dua bola matanya menggulir ke atas, menyorot tajam pada gerak-gerik istrinya di seberang meja. "Artis macam apa yang punya waktu buat manggang pai dan dibagi-bagikan ke tetangga?"

"Ini pai ayam dari tetangga seberang."

"Kamu sudah bilang banana bread-nya kemarin terlalu kering?"

Mia meringis. "Menurutku, banana bread-nya lumayan buat seorang baker amatir."

Malik mendecih.

"Dia ibu muda yang dulunya kerja di bank, kemudian mengundurkan diri demi kehamilannya. Dia cuma senang nyalurin hobinya."

"Dia harusnya tahu banyak orang di negeri ini yang kurang pangan. Kalau dia memeriksa tempat sampah rumah-rumah yang dikiriminya banana bread, dia baru akan sadar bahwa dia berutang permintaan maaf buat orang-orang yang kelaparan di luaran sana," ejek Malik enteng.

"Kata seorang chef consultant yang tiap menghasilkan kreasi baru selalu membuang-buang bahan-bahan makanan kualitas tinggi?" Mia balas menyindir.

"It's different. Punyaku adalah karya seni."

"Ya... ya," ucap Mia geli sambil melanjutkan mengiris sepotong pai dalam bentuk segitiga sama kaki. "Anyway... dia—namanya Tara—yang bilang tetangga sebelah kita seorang artis. Aku lupa namanya, tapi familiar sekali di telinga. Kita sudah terlalu lama nggak menonton acara televisi."

"Oh," celetuk Malik, tidak berusaha berpura-pura tertarik.

Mia tersenyum maklum. Suaminya memang tidak pernah tertarik pada gosip, atau apapun, terutama kalau dia sedang memikirkan apa yang akan dilakukannya pada sebongkah protein. Saat melewati punggung Malik untuk mengambil dua buah gelas anggur, perempuan itu menyentuh samar bahu suaminya sebagai bentuk dukungan.

"You look happy," nilai pria itu sambil melirik istrinya. "Dan kalau aku nggak salah lihat, sepertinya tetangga sekitar sini berebut perhatianmu."

"Perhatianku? Yang bener aja... perhatianmu, mungkin."

Alis Malik mengerut.

"Mereka sudah tahu kamu seorang chef consultant."

"Dari mana mereka tahu? Orang awam biasanya nggak paham apa pekerjaanku. Mereka hanya tahu apa itu chef, kemudian akan bertanya-tanya apa yang dikerjakan seorang chef yang lebih sering tinggal di rumah daripada di dapur restoran."

SwingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang