Chapter 8. Jamuan Makan Malam

1.9K 316 34
                                    

Mia mengempiskan perutnya hingga cekung.

Bagaimana Irma Kalia menjaga berat tubuhnya? Dia berpikir dalam diam sembari memperhatikan pantulan dirinya sendiri di depan cermin. Reporter itu begitu jangkung dan ramping. Apa yang dimakannya sehari-hari? Dia terlihat tetap sehat meski tubuhnya kurus. Rambutnya tetap indah ternutrisi.

Perempuan berwajah melankolis itu memutar tubuhnya di depan cermin dengan ragu-ragu sekali lagi.

Sebuah gaun hitam klasik berbahan twill stretch lembut dengan model off-shoulder eksotis membungkus tubuh mungilnya, memperlihatkan lekuk-lekuk indah di tempat-tempat yang semestinya tanpa menimbulkan kesan murahan. Dia tampak istimewa. Dia tahu. Meski begitu, dia tak kunjung merasa terpuaskan.

Potongan sweetheart neckline memberi kesan romantis pada penampilan pasangan Malik malam itu, sedangkan bagian bawah a-line skirt gaunnya yang pendek dan seakan mengalir dari bagian pinggul memperindah bentuk kaki yang tak pernah gagal menaikkan level keseksiannya hingga beberapa kali lipat lebih tinggi. Malik menyukai kaki-kaki kecilnya. Dia senang membelainya. Dan penampilannya malam ini sempurna, dia sendiri mengakuinya. Akan tetapi, apa yang akan dikenakan Irma Kalia begitu mengganggunya.

Mia tengah memasang anting mungil di telinga kirinya ketika sosok Malik yang muncul dari balik pintu terpantul di cermin.

"Apa yang kamu pakai?" tanya pria itu keheranan, langkahnya bahkan sempat terhenti seakan Mia berpenampilan seperti hantu.

Mendengar nada bicara Malik, Mia kembali meneliti dirinya sendiri dari ujung rambut hingga kaki demi mempertimbangkan penampilannya. Ini cuma makan malam biasa, padahal dia sudah terus menerus merapalkan kalimat itu di kepalanya saat memilih gaun yang menurutnya layak. Namun, bagaimana Malik sama sekali tidak keberatan dengan keputusannya menyanggupi undangan makan malam Irma Kalia tanpa lebih dulu berdiskusi dengannya, entah berapa lama dia berdiri diam-diam di balik pintu mengagumi wanita cantik itu saat bicara dengan istrinya, dan sosok Irma Kalia di balik tirai jendela rumahnya di lantai dua seolah mendorong Mia untuk tampil di atas rata-rata.

Tentunya sebagai public figure, Irma Kalia menjaga penampilannya dengan sangat baik. Mungkin sekali ada sentuhan artifisial di beberapa bagian tubuh itu, pikir Mia cemburu. Tubuh Irma memiliki bagian-bagian yang hanya membulat, sementara yang lainnya tetap menyempit. Bagian-bagian itu sempurna di tempat-tempat yang benar, nyaris mustahil dimiliki perempuan pada umumnya. Ditambah senyuman dan pembawaannya yang menyegarkan. Enerjik dan menyenangkan.

Dalam beberapa menit kunjungan singkatnya, Irma sudah mampu menyingkirkan Mia ke barisan belakang dengan gurauannya yang tidak lucu. Mungkin, kalau dia berani meminta, Malik bahkan sudi menunjukkan pada Irma dapur kebanggaannya. Sesuatu yang tidak akan Malik lakukan untuk siapapun yang menurutnya tidak berkepentingan. Mia yakin kulum senyum kecutnya yang membatasi Irma pagi tadi dan membuatnya memutuskan pulang begitu urusannya selesai.

Dengan raut masam, Mia menanggalkan kembali gaun malamnya di hadapan Malik dan memilih cepat sebuah blouson dress tanpa lengan berwarna peach beraksen drawstring di pinggul yang ditemukannya di tumpukan paling atas.

"Maksudku... ini hanya makan malam biasa," kata Malik tanpa merasa bersalah. "Kamu nggak perlu berambisi mengungguli sang tuan rumah."

Mia mengikat longgar rambutnya dan memindahkan serumpun ke bahu. Sebelum Malik berkomentar lagi, ia sudah melucuti sepasang anting pemberian mendiang ibunya dan menyimpannya ke dalam kotak.

Malik mempraktikkan kuliahnya kepada sang istri terhadap dirinya sendiri. Ia menyusul Mia yang sudah menanti di dapur tak lebih dari sepuluh menit berselang, penampilannya santai, tapi tetap rapi. Jeans biru terang lurus tanpa aksen apapun, button down shirt polos dengan dua kancing teratas yang dibiarkan, dan sneakers bersih yang baru saja dikirimkan kembali dari shoes care. Tak lupa, sebuah jam tangan yang memberinya alasan untuk menggulung sedikit lengan panjangnya. Sewaktu Malik berdiri di ambang pintu, aroma cokelat hitam dan tembakau cologne pria menyapa indra penciumannya.

SwingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang