Chapter 15. Sepasang Mata yang Mengintai

1.5K 265 5
                                    

Jangan berkedip.

Mungkin hanya ini kesempatanmu. I do my job and you do yours.

Ansel mencabut sebuah post-it yang ditinggalkan Irma di depan pintu kulkas. Dia sudah membaca setidaknya sepuluh kali. Mereka sudah membicarakannya ratusan kali. Mia akan sepenuhnya sendiri malam ini. Malik akan menemui Irma dan produser acaranya di kota, pembicaraan bisnis.

Hampir semua orang yang mengenal Irma tahu, si ambisius itu bisa melakukan segalanya. Tidak mustahil wanita gila itu bisa membunuh untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Belakangan Ansel menduga, kecelakaan kecil yang menimpa talent acara yang dipilihnya di Galaxy TV sebelum dialihkan pada Irma Kalia mungkin bukan sepenuhnya kebetulan.

Ansel tidak pernah menyinggungnya sampai kemudian dia menyadari bahwa Irma sudah mengandung pada malam hari perkenalan mereka. Malam di mana mereka menghabiskannya berdua. Ansel dalam belitan kalut sepeninggal Mia menerima Irma jatuh ke pelukannya dengan teramat mudah. Dia marah. Tentu saja. Dia terjebak dan tetap tidak bisa lari bahkan setelah Irma kehilangan bayinya.

Yang Ansel tak habis pikir, bagaimana dia bisa mengatur, atau meyakinkan Malik Satya Hod bahwa meninggalkan istrinya yang sedang mabuk di rumah tetangga baru mereka adalah ide yang bagus? Ansel hampir mengira suami Mia paling tidak akan menanyainya ketika ia meninggalkan mereka berdua di ruang makan setelah Irma menidurkan Kalamia di kamar tamu. Dia membeku dengan gelas anggur yang tak disesapnya. Aneh bagi Ansel, bagaimana seorang pecinta anggur yang bisa memilih minuman selezat itu tidak tampak antusias sedikitpun ketika sebuah botol langka dan mahal dibuka dan disajikan di hadapanya.

Dia tampak sangat, sangat tegang.

Ansel kembali mendekat pada jendela, menyusuri lorong-lorong di rumahnya, mengikuti perjalanan Malik dan Mia di kediaman mereka sendiri.

Ansel berhenti di balik pintu depan. Di celah tirai dengan sebelah matanya, dia kembali melihat pasangan menikah itu menampakkan diri di halaman. Ansel memperlebar celah tirai yang disingkapnya, mencoba mendapatkan gambaran lebih jelas dari kejauhan tanpa bisa mendengar apa yang mereka perbincangkan. Malik tengah bersiap masuk ke mobil dan Mia mengantarnya keluar. Irma membuktikan perkataannya. Malik akan menemuinya untuk pertemuan bisnis, dan Mia akan sendirian malam ini.

Mia mendekap lengan suaminya. Kesalahpahaman yang terjadi mengubah paginya yang meresahkan menjadi panas dan mendebarkan. Semuanya tersirat di pipinya yang bersemu merah. Malik menyenyuminya penuh arti. Perempuan itu terus merapatkan kakinya. Dia tidak bisa menemukan celana dalamnya. Mungkin terserak di suatu sudut entah di mana saat Malik menginjak dan menendangnya.

"You better text me right after you found your panties," bisik Malik mesra di telinga istrinya. "Meski... aku sebenarnya nggak sepenuhnya ingat... apa kamu memakainya?"

Mia mencubit perut pria itu.

Malik mengecup bibirnya lembut, memagutnya sekilas hingga bibir Mia mengecap basah. Mia memejam menanti kuluman berikutnya.

"Sampaikan salamku pada ibu," ucap perempuan itu setengah hati.

Malik meringis. "Kamu nggak perlu pura-pura kayak begitu," katanya sambil menenggerkan kacamata hitam di batang hidung bangirnya. "Kalau kamu mau... kamu selalu bisa ikut denganku."

Mia membiarkan Malik masuk mobil dan membantunya menutup pintu. "Kalau kamu mau aku ikut, kamu pasti sudah membahasnya denganku sejak semalam."

"Okay... aku menyerah. Memang kalian lebih baik nggak saling ketemu lagi. Let's say... sampai hari pemakamannya?"

"Malik!" hardik Mia, meski dalam hati dia menyetujui hal itu.

Malik tertawa renyah dan berpesan, "Don't forget to come to the shop. Okay? Kamu juga perlu ke sana sesekali. Kalau kita hanya mengandalkan pesanan lewat telepon, lama-lama mereka bakal nyepelein permintaan khusus kita. Jalin komunikasi and make sure they know  we are their priority."

SwingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang