ENEMY -- 1

29.5K 742 7
                                    

"Van, ikut ibu ke ruang guru, sekarang." Tegas Bu Fatma yang membuat Evan kembali menghela napasnya. Ia tahu apa yang akan di katakan oleh Bu Fatma nanti. Ralat, dia sangat tahu.

Benar saja, saat Evan duduk di kursi yang berhadapan langsung dengan Bu Fatma, guru itu menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menatap Evan dengan bosan.

"Saya nggak bisa jamin kamu naik kelas kalo nilai kamu terus-terusan begini, Evan." Pernyataan Bu Fatma kali ini membuat Evan tersentak. Biasanya, guru ini hanya memberi teguran padanya dan menyuruhnya untuk belajar lebih giat lagi.

"Apa cara ngajar ibu kurang dimengerti sama kamu?" Tanya Bu Fatma. Evan menggeleng, "Enggak, bu. Saya ngerti kok kalo ibu yang ngajar,"

"Terus kapan nilai kamu naik, Evan? Nilai kamu selalu di bawah rata-rata. Duh, ibu nggak ngerti lagi deh mau gimana ini," ucap Bu Fatma sembari memijit keningnya sendiri. Evan yang menyadari bahwa sejak tadi kepalanya terus menunduk, kini ia mendongak menatap Bu Fatma. "Saya akan berusaha, bu."

Bu Fatma menggeleng lagi, entah yang ke berapa kalinya. "Kamu selalu menjawab seperti itu, tapi ibu belum lihat perubahan yang berarti dari diri kamu, Evan. Mungkin, nilai kamu akan naik kalau ibu carikan tutor ya?"

Mata Evan membesar. "Tutor?"

"Ya, secepatnya kamu akan saya carikan tutor yang sama-sama kelas 11 IPA. Saya nggak mau murid saya nilainya jelek terus," ungkap Bu Fatma. Evan buru-buru menolaknya, "Ah, nggak usah bu. Saya kan udah ikut les private," bantahnya.

"Percuma aja kamu les kayak gitu kalau saat gurunya dateng, kamu pura-pura ketiduran. Jangan pikir saya nggak tahu kamu, Evan. Pokoknya, ibu akan carikan tutor buat kamu, nggak boleh ngebantah."

Evan merutuki dirinya sendiri mendengar ucapan Bu Fatma yang terlalu tahu-ralat, sangat tahu-tentang dirinya. Sialan.

- - - - -

"Yak, terus Mikayla! Nggak! Salah lempar! Ah!" teriakan-teriakan melengking dari guru olahraga SMA High School barusan membuat Mikayla-atau Kayla-mengelap keringatnya dengan kasar. Saat pluit terakhir tanda selesainya permainan ini membuat Kayla memperhatikan Pak Genta, guru olahraganya. Pasti gue di panggil lagi nih, pikirnya.

"Mikayla!" teriak Pak Genta, membuat Kayla memutar kedua bola matanya dan berbalik menghampiri guru yang teriakannya sangat memekakkan telinga itu.

"Kenapa, pak?" Tanya Kayla perlahan.

"Bapak nggak ngerti sama kamu ya. Kenapa sih, kamu kalo main basket tuh jelek banget? Dari semua olahraga, cuma basket yang nggak kamu bisa. Dan itu parah, Mikayla."

Ya, kan, basket bukan bidang gue, ish, protes Kayla dalam hati. Lalu, Pak Genta kembali berbicara, "Yang lain aja bisa, masa kamu enggak?"

Kayla menjawab, "Iya pak, saya akan latihan lagi dirumah." Pak Genta menampakkan wajah seperti orang yang sedang marah, lalu sedikit membentak Kayla yang membuatnya terkejut. "Tidak! Kamu pikir bapak lupa kalau dirumah kamu ada kucing, hah? Kamu pikir bapak lupa kalau bola basketmu itu sudah hancur sama kucing itu?!"

Sialan, rutuk Kayla dalam hatinya. Belum sempat Kayla kembali menyanggah, Pak Genta berkata, "Minggu kamu kesekolah, pake baju olahraga apa aja, terserah,"

Kayla terkejut. "Bapak gila? Masa saya Hari Minggu harus sekolah juga?" ucap Kayla seakan tidak terima. Pak Genta tampak tidak peduli dan berkata, "Siapa suruh kamu nggak bisa main basket? Mau naik kelas atau enggak, sih? Satu aja nilai kamu dibawah rata-rata, kamu nggak naik kelas 12 loh."

Kalimat terakhir yang dilontarkan Pak Genta membuat Kayla terkejut seketika. "Yah pak, jangan gitu dong. Ya ampun pak, pleaseee, saya mau naik kelas," mohonnya pada Pak Genta. Guru olahraga itu lantas tersenyum sumringah, "Nah, yaudah. Hari Minggu kamu dateng kesekolah, nanti ada yang ngajarin kamu kok."

My (Lovely) EnemyWhere stories live. Discover now