Please, don't be a silent reader.
Happy reading ....
Sebanyak apa pun waktu berjalan, itu tidak akan bisa menghapus sebuah kenangan.
— L O S E —
.
.
.
.
Waktu ....
Selalu berputar tanpa kena lelah, tanpa jeda, setiap detik yang tercipta, selalu mengingatkan manusia jika waktu tidak bisa berhenti atau pun terulang kembali. Setiap kenangan akan selalu ada. Namun kita tidak akan bisa mengembalikan waktu itu lagi.
Hanya bisa terus berjalan, dan mengikuti alur yang Tuhan gariskan. Skala agaknya sudah sangat hafal dengan hal itu. Remaja yang sedang duduk asal di lantai rooftop, sambil menatap lurus ke depan itu kembali bergulat dengan isi pikirannya sendiri.
Sudah sejak 30 menit yang lalu Skala berada di tempat ini. Harusnya sekarang ia pulang karena mata kuliahnya telah selesai. Namun ia justru terdampar di tempat ini. Sambil sesekali mengulang kepingan memory yang selalu ia rindukan.
Sudah satu tahun berlalu, setelah lagi-lagi ia selamat dari kematian yang sudah ada di depan matanya. Tuhan terlalu baik karena masih membiarkannya menikmati kehidupan—lagi.
Sayangnya, sekarang Skala tak terlalu bahagia. Hidupnya kembali suram setelah ia kehilangan—Angkasa. Ia marah, mengapa semesta seolah tak membiarkannya untuk bahagia. Padahal, bahagia versinya cukup sederhana. Hanya berkumpul dengan orang-orang yang ia sayang, itu saja.
Ia tak hanya merindukan adiknya, tapi juga mengkhawatirkan kondisi Angkasa. Karena saat ia terbangun waktu itu, mamanya bilang Angkasa mengalami kecelakaan yang parah dan dibawa ayah kandungnya untuk berobat ke Jerman.
Namun setelah satu tahun berlalu, Angkasa tak kunjung pulang. Hal itu memicu Skala untuk memikirkan hal yang tidak-tidak. Apa Angkasa begitu nyaman tinggal di negeri orang sampai tak mau kembali.
Apa Angkasa juga sudah melupakannya? Atau justru, Angkasa belum sembuh, makanya ia belum pulang ke sini?
“Gue cariin dari tadi, ternyata lo di sini. Pantesan mobil lo masih ada di parkiran.”
Hingga sebuah suara yang sangat Skala kenal terdengar di telinga, berhasil membuyarkan lamunan sesaat cowok itu. Ia menoleh ke samping, memperhatikan sosok Vino yang kini ikut mendudukkan diri di sampingnya.
“Jangan kebanyakan ngelamun. Nanti kesambet baru tahu rasa lo,” ucapnya lagi.
“Siapa juga yang ngelamun, orang gue lagi duduk santai di sini,” elaknya.
Vino menghela napas, terlampau tahu jika sahabatnya masih diliputi kesedihan. Ia juga tahu kalau selama ini Skala hanya pura-pura bahagia. Setiap harinya, sahabatnya itu sering melamun seperti tadi. Vino khawatir dengan hidup Skala yang seperti ini. Namun mau bagaimana pun, Vino tak bisa membantu apa-apa, kecuali menghiburnya.
“Bahkan semut-semut yang ada di sini pun gue rasa udah tahu kalau lo lagi duduk. Jadi nggak usah capek-capek ngejelasin.”
Skala hanya mendengkus saat mendengar perkataan sahabatnya. Ia kembali menatap ke depan. Semilir angin yang berembus sedikit banyaknya menyejukkan raganya.
KAMU SEDANG MEMBACA
L O S E
FanfictionSEQUEL STORY "NOT YOU || BROTHERSHIP" Disarankan membaca story NOT YOU terlebih dahulu, agar tahu jalan cerita (story) ini. *** Mereka hanya setitik cahaya yang menginginkan bahagia. Mereka juga setumpuk luka yang ingin menemukan obatnya. *** "Lih...