Meluluhkan Si Berandal

15.6K 1.1K 12
                                    

Lavid sedang istirahat di kantin bersama kedua sahabatnya, Gavriel dan Agus. Mereka mengobrol sambil sesekali tertawa tanpa tahu malu jika suara mereka itu keras sekali.

"Eh, Lav, entar Bang Fahas ngajakin ngumpul, mau join gak?" Tawar Gavriel. Remaja blasteran Australia itu menaik turunkan alisnya.

"Ya, harus dong. Udah lama juga gue nggak ketemu sama Bang Fahas." Timpal Lavid semangat.

"Elu yakin? Entar abang lu ngamuk semua, gue nggak ikutan loh." Julid Agus.

"Halah, itu mah easy. Yang penting hepi-hepi dulu," balas Lavid dengan cengengesan.

"Hilih, iti mih isi. Ying pinting hipi-hipi dili. Bah, monyet!" Sarkas Agus.

Dirinya bukan bermaksud memojokkan Lavid, hanya saja ia tahu apa yang mungkin terjadi selanjutnya. Ia tak mau menjadi samsak gratisan untuk kedua kakak Lavid.

Lavid cemberut dan mengadu pada Gavriel. Agus memutar bola matanya malas, anak ini benar-benar hobi ngelunjak.

Suasana kantin yang awalnya cukup tenang meski ramai, tiba-tiba berubah ricuh. Suara bentakan terdengar jelas, membuat Lavid dan kawan-kawannya memusatkan perhatian ke arah suara.

Tidak jauh dari mereka ada sekumpulan anak berandalan sekolah yang sedang memarahi seorang siswi. Siswi yang dimarahi hanya bisa menunduk sambil menangis.

Dirinya tak sengaja menubruk si ketua berandalan dan membuat makanannya mengotori baju si ketua. Sialnya lagi berandalan yang berhadapan dengannya adalah berandalan urutan wahid di sekolah ini.

Yang membentaknya bukan si ketua, melainkan antek-anteknya. Ketua berandalan bernama lengkap Rama Hemian Bharata itu memang lebih banyak diam. Dia diam bukan berarti terima-terima saja, ia hanya malas mengeluarkan emosi, apalagi kepada seorang cewek lemah dan cengeng.

"Cari masalah sama mereka sama aja kayak simulasi masuk neraka," gumam Gavriel bergidik ngeri.

Meski kakaknya—Abriel—merupakan salah satu dari anggota geng berandalan itu, tapi tetap saja Gavriel enggan dekat-dekat dengan mereka. Ia masih mau hidup aman dan nyaman.

"Cih, itu ketuanya aja diem tapi antek-anteknya malah yang nyolot." Sinis Lavid.

"Jangan salah bro, si ketua kalo lagi emosi ngeri. Sukur aja kalo dia lebih baik diem daripada entar nih kantin rata sama dia." Balas Agus.

"Emang lu pernah liat dia marah?" Julid Lavid.

"Kita emang belum pernah liat dia marah secara langsung. Tapi Kak Abriel pernah bilang Bang Rama pernah hampir bunuh orang karena marah." Jelas Gavriel.

Lavid menelan ludah, "Suer lu?"

"Yaelah, buat apa gue bohong soal tuh muka triplek. Nggak ada kerjaan banget," sarkas Gavriel.

"Tapi itu ceweknya kasian amat," ucap Lavid sambil berdiri.

"Mau ngapain lu?" Tanya Agus was-was.

"Mau menegakkan kebenaran." Jawab Lavid mantap.

Lavid berjalan mendekati geng berandalan itu tanpa mengindahkan teriakan Gavriel dan Agus yang menyuruhnya agar tidak ikut campur. Keras kepala Lavid memang tidak pernah pandang situasi.

"Woy!" Teriak Lavid yang spontan membuat semua atensi beralih padanya.
Ia agak kikuk saat orang-orang menatapnya dengan pandangan yang beragam. Tapi ia mengenyahkan rasa takutnya demi menegakkan sebuah kebenaran.

"Kak, mendingan Kakak pergi sekarang. Ini biar gue yang urus." Suruh Lavid kepada si cewek. Cewek itu mengangguk dan bergegas pergi.

Lavid menatap angkuh pada gerombolan anak nakal di depannya. Dia juga anak nakal, tapi dia tidak senakal itu.

"Eh, elu bocah imut nggak usah ganggu, deh." Ucap cowok yang tadi membentak, dia adalah sepupu Rama, namanya Elan.
Lavid melotot, tak terima dikatai imut. Dia itu tampan, mengalahkan ketampanan seorang Troye Sivan. Ngadi-ngadi sekali cowok bernama Elan itu.

"Eh, bangsul, gue itu ganteng, bukan imut! Mata lu katarak, ya?!" Sentak Lavid.
Elan mengedikkan bahunya. Suara cempreng anak ini sudah cukup membuatnya sadar jika dia tak akan menang berdebat dengannya. Hanya membuang waktu dan tenaga.

Lavid mencebikkan bibirnya dan tanpa sengaja bertemu mata dengan Rama. Tatapan Rama menajam, membuat Lavid kesusahan menelan ludah. Ia terdiam kikuk hingga tiba-tiba tangannya dicekal erat oleh..... Rama.

Lavid tidak bisa apa-apa. Ia ingin berteriak mengeluarkan suara emasnya, tapi suaranya tertelan kembali di tenggorokan. Rama sangat menakutkan.
"Ikut." Ucap Rama dengan nada dinginnya.

Lavid semakin panas dingin. Jujur saja, ini pertama kalinya ia mendengar suara Rama. Ia bersumpah tak ingin lagi mendengar suara Rama setelah ini. Suaranya lebih mengintimidasi daripada suara David.

Sedangkan kedua sahabat Lavid sudah ketar-ketir di sana. Mereka ingin membantu teman mereka, tapi mereka juga tidak berani.

Bruk!

"Eh?"

Lavid And His Brothers (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang