Damn Punishment

11K 1K 5
                                    

Lavid menunduk di sofa yang ia duduki, tak berani menatap Havid dan David yang duduk di sofa seberangnya. Tatapan mereka membuat Lavid menciut.

"M-maaf," lirih Lavid membuka percakapan.

Terdengar helaan nafas berat dari Havid, sedangkan David tak memberikan reaksi apapun. Matanya masih lekat menatap Lavid dengan tajam.

"Masih belum kapok, Baby?" Tanya David.

Lavid refleks menggeleng. Ia sudah cukup kapok dikurung di gudang tanpa makan-minum, ponsel, bahkan alas tidur. Terlebih di gudang itu banyak kecoa, sedangkan ia sangat benci dengan hewan berwarna coklat itu.

"Well, jadi kenapa kau mengulanginya lagi?" Lanjut Havid dengan seringai malasnya.

Diam. Lavid tak bisa menjawabnya.

"Tidak bisa menjawab, hm?"

"Hiks... Maaf."

David dan Havid kompak menghela nafas panjang. Menghadapi Lavid memang membutuhkan extra kesabaran.

"Sebagai hukumanmu kali ini, kamu akan tinggal di rumah Bang Arval selama satu minggu. Tidak ada bantahan dan ponselmu akan Abang sita." Ucap David tegas.

Lavid membulatkan matanya.

Tinggal di rumah Arval?

Ponselnya disita?

Oh shit.

Itu adalah salah satu dari sekian mimpi buruk di kehidupan Lavid.

Ia jelas tidak mau tinggal di rumah Arval yang sikap tegasnya melebihi David. Sahabat karib David itu mengerikan—bukan hanya menurut Lavid, bahkan David pun terkadang memilih pass daripada harus memperpanjang urusan dengan Arval.

"Bang, Lavid janji mau nerima hukuman apa aja asal jangan tinggal di rumah Bang Arval." Mohon Lavid dengan wajah melasnya.

David menggeleng, "Kau harus menerimanya, Baby Boy. Besok Abang akan mengantarmu."

Lavid menatap penuh harap pada Havid setelah David pergi ke kamarnya. Havid hanya bisa mengangkat tangan, tanda ia pasrah dengan keputusan David.

Lavid mencebikkan bibirnya kesal.

•••

Keesokan paginya, sesuai dengan apa yang David katakan, ia benar-benar mengantar Lavid ke rumah Arval.

Rumah bernuansa white blue itu justru terlihat angker bagi Lavid. Atmosifirnya begitu terasa dingin, seolah itu bangunan kosong yang dihuni makhluk dimensi lain.

"Bang, Lavid mau di rumah aja, nggak mau di sini." Rengek Lavid untuk yang kesekian kalinya, tapi David masih konsisten dengan jawabannya.

"Tidak."

Lavid ingin sekali rasanya menangis sambil menghujani wajah datar David dengan cakaran maut. Sayangnya itu hanya imagine yang tidak bertuah.

David menggadeng dengan erat telapak tangan lembut milik Lavid, seakan anak itu akan kabur jika ia kendor sedikit saja. Lavid sendiri sudah mengutuk-ngutuk dalam hatinya, menyumpahi David dan si penghuni rumah yang angker.

Tepat ketika David selesai memencet bell rumah sebanyak tiga kali, pintu rumah itu terbuka secara otomatis. Jujur, Lavid sedikit terkagum.

David langsung memasuki rumah itu, menuju ruang tamu. Di sofa ruang tamu sudah terlihat seorang cowok yang duduk menyandar pada punggung sofa.

"Val, gue mau nitipin Lavid. Tolong jaga dia, kalo dia nakal boleh lu kasih hukuman, asal jangan keterlaluan." Ucap David to the point.

Arval mengangguk dengan deheman singkat. Setelah menyuruh Lavid untuk duduk, David langsung pamit pergi.

Mungkin memang tidak sopan bertamu dengan seperti itu, tapi David dan Arval adalah orang yang 'sama'. Jadi, tidak perlu heran dengan sikap 'tidak sopan' mereka terhadap satu sama lain.

Setelah kepergian David, suasana terasa canggung—setidaknya untuk Lavid. Ia belum kenal dekat dengan Arval meski beberapa kali berurusan dengan cowok yang seumuran dengan David tersebut.

Tapi satu hal yang paling Lavid ketahui tentang Arval.

Cowok itu dingin dan galak. Posessive dan tidak pernah main-main. Nilai tambahan bagi Arval adalah dia ganteng.

'Eh, tapi masih gantengan gue.' Batin narsis seorang Lavid Barlian Garesta.

"Baby, lebih baik kau makan dulu. Nanti Mas tunjukin kamar yang kau tempati." Ucap Arval dengan nada 'hangat' yang kaku.

"Uh, um." Gumam tidak jelas Lavid.

Berbeda dengan David dan Havid yang dipanggil dengan sebutan Abang, Arval memilih agar orang yang lebih muda darinya menanggil dirinya dengan sebutan Mas.

Tatapan Arval menajam, ia mencengkeram pipi Lavid yang duduk di sebelahnya.

"Gunakan mulutmu, sayang."

"I-iya, Mas. Lavid minta m-maaf." Gagap Lavid.

Demi, cengkeraman Arval sungguh menyakitkan.

Arval melepaskan cengkeramannya di pipi Lavid lalu mengelus pipi yang kini memerah itu.

"Ayo," ajaknya menarik tangan Lavid menuju dapur.

'Hiks... sialan! Huweee gua mau balik! Bang Daviiiidddd!!!' Jerit Lavid dalam batinnya.

Lavid And His Brothers (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang