Arvaldy Yoga Pangisthu

10K 1K 11
                                    

Arvaldy Yoga Pangisthu, kerap dipanggil Arval. Pemuda berusia 25 tahun itu begitu memiliki aura yang dingin—tidak mengenakkan bagi banyak orang.

Sifatnya cukup apatis—kecuali untuk orang-orang yang disayanginya. Dia orang yang serius, tidak suka main-main meski hanya dengan ancaman kecil.

Ia sangat menyayangi sosok menggemaskan tetapi nakal yang kini tertidur damai di sofa besar ruang tamu. Tak lain sosok itu adalah Lavid Barlian Garesta.

Sosok Lavid yang seperti itu sangat mirip dengan adik tiri Arval. Sosok yang sangat Arval sayangi lebih dari ia sayang kepada orang tuanya—ah, mungkin rasa sayang Arval kepada orang tuanya dengan sang adik tiri bisa dibandingkan dengan 1:9.

"Bang David kayak monyet, huh."

Arval tak bisa menyembunyikan kekehannya saat mendengar Lavid mengigau mengatai David. Jelas saja anak itu tak bisa mengatakan hal tersebut pada David di dunia nyata jika ia masih sayang dengan kebebasannya.

Arval lalu berdiri dari posisi jongkoknya di pinggir sofa tempat Lavid tertidur. Cowok itu berjalan ke arah sofa di sisi lain dan duduk di sana. Mengotak-atik ponsel pintarnya.
Ting! Tong!

Arval mengernyit mendengar bell rumahnya yang berbunyi. Pasalnya, tidak ada banyak orang yang Arval kenal untuk mendapat izin berkunjung ke rumahnya. Lagipun ini masih pagi, yang otomatis orang-orang mungkin masih sibuk bekerja atau bersekolah.

Ia kemudian menekan sebuah aplikasi yang mengubungkan dengan cctv di dekat pintu masuk. Tatapannya seketika flat saat melihat sosok yang berdiri di depan pintu rumahnya.

Sial, ia lupa mengunci gerbang. Dengan amat sangat terpaksa, Arval beranjak dari duduknya dan berlalu keluar. Tentu saja, ia tak akan membiarkan sosok satu itu menginjakkan kaki di dalam rumahnya.

Arval menekan button kecil di sebelah pintu dan pintu terbuka secara otomatis. For your information, Arval merancang rumahnya menjadi rumah cerdas, tapi tidak terlalu berlebihan.

"Apa?" Tanya Arval pada cewek yang berdiri persis di depannya.

"Sayang, lu kok gitu, sih?"

Arval menaikkan alisnya. Apa perlu Arval perjelas lagi jika mereka sudah menjadi mantan? Dan mereka sudah putus sejak 2 tahun lalu, tapi cewek gila itu masih saja mengganggunya.

"Lebih baik lu pergi sebelum gue ngasarin lu," balas Arval dengan nada datar.

Cewek itu mendecih, "Ayolah, Babe. Gue tau lu masih cinta sama gue kan? Mending kita balikan aja."

Arval tertawa remeh.

Balikan?

Haha, mimpi tak berguna.

Sejak awal mereka pacaran dulu, Arval juga tidak sama sekali memiliki perasaan pada cewek itu. Ia hanya—yah, sekedar coba-coba saja atau bisa kita sebut juga sebagai pengalihan rasa bosan.

Silahkan saja jika ingin mengatainya brengsek. Ngomong-ngomong, Arval hanya pernah sekali pacaran, tentunya dengan cewek menjengkelkan yang saat ini berdiri di depannya.

"Gue serius, pergi atau gue bunuh." Itu bukan ancaman, tapi peringatan yang hanya beda tipis dengan pernyataan.

Bukankah pernah aku bilang jika Arval tak suka main-main?

"Lu nggak serius kan?" Tanya si cewek was-was.

Selama ini jika dirinya mengganggu Arval, maka cowok itu hanya akan menghindarinya,  melayangkan umpatan kasar, atau berbicara dengan nada yang menusuk. Belum pernah cowok itu melayangkan ancaman—menurutnya—seperti itu.

"Gu—"

"Apaan, sih? Ributnya kedengeran sampe dalam rumah, bangsat!"

Arval melirik tajam pada Lavid yang kini berdiri sebelahnya. Anak itu memang tidak terlalu peduli dengan sekitar saat baru bangun tidur. Bahkan saat ini mungkin ia lupa jika dirinya tengah berada di rumah Arval, bukan rumahnya.

"Heh, lu siapa?!" Tanya si cewek, entah hilang kemana rasa was-wasnya tadi.

Lavid menyipitkan matanya dan mengerjap pelan, kemudian menatap si cewek dari atas sampai bawah.

"Oh, lacur nyasar, ya?"

Cewek itu melotot, sedangkan Arval sudah mengepalkan tangannya dengan emosi yang membumbung. Bukan karena marah si mantannya yang dikatai lacur, ia lebih tidak suka dengan kalimat yang keluar dari mulut Lavid. Ia tak suka jika anak itu berkata kasar, sekalipun disingkat.

"Mulut lu lemes banget, bajingan!"

"PERGI! RIRIN SIALAN!" Bentak Arval yang sudah kelewat marah.

Rupanya bukan hanya Ririn yang terkejut, tapi Lavid juga. Ia dengan cepat melihat ke sebelahnya dan membola begitu netranya menangkap sosok Arval dengan rahang mengeras.
'Mampus! Gue lupa kalo gue lagi dirumahnya Tuan Titan!' Jerit Lavid dalam hatinya.

Lavid And His Brothers (END)Where stories live. Discover now