Drunk

5.4K 487 4
                                    

David adalah orang yang bekerja keras untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya secara dewasa. Ia rela semalaman tidak tidur hanya untuk memikirkan pemecahan masalah itu agar tidak ribet.

Tapi, kali ini David tidak bisa berpikir lebih bijak. Dari yang awalnya uring-uringan, kini pemuda itu memilih mabuk sebagai pelarian.

Itu hal yang bodoh. Tidak berguna. Tapi David terlalu kacau untuk memikirkannya.

Dari yang awalnya hanya ingin minum 1-2 gelas saja, kini pemuda itu justru sudah menghabiskan sebotol rose wine. Wajahnya sudah memerah dan dirinya terus meracau tidak jelas.

Ini pertama kalinya David mengkonsumsi alkohol, namun sayangnya ia tidak memiliki toleransi alkohol yang baik.

Salah seorang bartender yang tadi melayani David kini bergerak gusar. Lama bekerja sebagai bartender di bar ini membuatnya cukup paham mana orang yang toleransi alkoholnya baik dan mana yang toleransi alkoholnya buruk.

Bartender itu tidak akan gelisah jika David—setidaknya—bersama seseorang. Tapi ini David justru mabuk berat dengan keadaan dirinya yang sendirian, tanpa seorang pun menemaninya.

Dengan memberanikan diri, si bartender menghampiri David yang kini menenggelamkan wajahnya di atas meja.

"Tuan?" Panggilnya.

"Emmm?"

"Permisi, saya ingin pinjam ponsel atau dompetnya, boleh?"

David tidak menjawab.

"B-baiklah, permisi, Tuan."

Bartender itu merogoh saku jaket David, dan syukurnya ia menemukan ponsel David di sana. Namun hal sialnya adalah ponsel David yang di sandi.

Bartender itu mengurungkan niatnya dan beralih mencari dompet milik David. Ia merogoh saku jaket bagian kanan.

Ketemu!

Si bartender mengucap kata 'maaf' dan 'permisi' sebelum membuka dompet David untuk melihat KTP-nya.

"David Arga Garesta..." Gumamnya. Ia kemudian membaca alamat rumah David dan kembali memasukkan KTP David ke dalam dompet.

"Mas, gue ijin pergi bentar boleh nggak? Orang ini kayaknya butuh gue anter pulang."

"Oke, jangan lama-lama tapi."

Ia mengangguk lalu merangkul David dan membawanya keluar dari bar. Ia menuju parkiran dan memasuki mobil berwarna silver miliknya. Ia terlebih dahulu memasukkan David ke bagian kursi samping pengemudi, setelahnya ia menyusul masuk ke kursi kemudi.

Selama perjalanan hanya ada suara David yang berucap entah apa, tidak jelas.

Sekitar 35 menit kemudian mobil silver yang dikendarai si bartender tiba di depan gerbang rumah David. Ia membunyikan klakson mobil, berharap ada seseorang yang keluar.

"WOI BANGSHIT! NGAPAIN LO BUNYI-BUNYIIN KLAKSON DI DEPAN RUMAH GUE?! NGAJAK RIBUT, HAH?!"

Bartender yang mengantar David agak kaget saat melihat seorang pemuda berwajah lucu yang berteriak marah padanya. Remaja itu berjalan membuka gerbang dan mengetuk-etuk kaca mobilnya.

"BUKA, NYET!" Teriak remaja yang tak lain adalah Lavid.

Ayolah, ini sudah malam, orang mana yang tak marah jika seseorang membunyikan klakson dengan cukup brutal di depan rumahnya?

Bartender tadi keluar dari dalam mobil, berdiri berhadapan dengan Lavid.

"Maaf, benar ini rumahnya David Arga Garesta?" Tanyanya.

"Ada urusan apaan lu nanyain abang gue, huh?"

"Ah, itu, kakakmu mabuk dan sekarang dia masih di dalam mobilku."

Lavid yang awalnya sinis seketika berubah panik.

"Cepet bukain pintunya, goblok!" Seru Lavid.

Bartender itu mengangguk dan membuka bagian samping kemudi mobilnya, kemudian membawa David keluar. Ternyata David sudah tertidur.

"Hiks... Bang David!"

Bartender tadi kaget saat Lavid malah menangis.

"E-eh, kenapa malah nangis, Dek."

"Lavid, kenapa—"

"Bang David!" Pekik Havid.

"Bang David kenapa?"

"Tadi dia minum-minum di bar."

Havid menggigit bibir bawahnya. David tidak pernah seperti ini sebelumnya. Sebisa mungkin cowok itu menahan diri untuk tidak menangis.

"B-baiklah, maaf jika kakaku merepotkanmu." Ucap Havid mengambil alih David dari rangkulan si bartender.

"Bukan masalah, aku pamit."

"Sebentar! Siapa namamu?"

"Nama saya Fares, bartender di bar Laster's."

"Oh, baiklah, kapan-kapan aku akan mengunjungimu. Sekali lagi terima kasih banyak."

Si bartender yang bernama Fares itu tersenyum tipis sambil mengangguk, "Selamat malam."

"Malam juga, hati-hati di jalan."

Setelah Fares pergi, Havid memapah David untuk ke kemarnya. Lavid mengikuti dari belakang masih dengan tangisannya.

Apakah David seperti ini karena dirinya?

Setidaknya begitulah yang Lavid pikirkan. Ia sudah tahu tentang gugatan hak asuhnya saat tak sengaja menemukan gumpalan kertas itu di kamar David ketika dirinya hendak pinjam charger.

Lavid And His Brothers (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang