Bab 1

694 62 0
                                    

"Nuria Lavanya Nola."

Mampus!

Nola mengatup bibirnya rapat. Memperhatikan kertas tugas yang sedang dipegang Kavi, dosen mata kuliah operasional tata boga. Berbeda dengan dosen-dosen lainnya yang mencap mahasiswa tidak sopan jika hanya memanggil nama saja, Kavi justru menolak jika dipanggil dengan sebutan "Pak Kavi."

"Hei, kenapa di kertas tugas ini memuat pendapat yang sama sepertimu?" tanya Kavi yang tiba-tiba sudah membungkuk di hadapan, sontak membuat gadis dengan rambut bergelombang panjang sepinggang itu terperanjat. "hampir setengah dari kelas ini lo," lanjutnya berbisik membuat Nola beringsut hendak menenggelamkan tubuhnya dibalik kursi.

Nola tidak bisa berjarak dengan orang lain sedekat ini, jantungnya mendadak memompa darah lebih cepat hingga membuat napas menderu. Mungkin Kavi bisa mendengarnya jelas. Atau mungkin seluruh teman sekelasnya saat ini juga ikut mendengarnya.

"Itu, anu, Pak, eh, Kav, Kavi. Itu, itu, bisa aja bukan pendapat saya. Bisa aja kami memang sependapat," jawab Nola terbata-bata setengah mati, lalu menggaruk kening yang tidak gatal setelahnya.

Kavi membuang napasnya kasar lalu berdiri tegap, berjalan kembali ke mejanya.

Nola memperbaiki duduk, meremas-remas jemarinya di atas meja. Sesekali menepuk-nepuk bibir dengan kepalan tangan.

Nola! Alasan macam apa itu!

"Baik, saya rasa jam saya sudah habis. Sampai ketemu besok. Untuk nama-nama yang menerima surel dari saya, tolong kumpulkan tugasnya satu jam dari sekarang," ucap dosen yang memakai blazer abu-abu itu seraya melepas kacamatanya.

Meski memberatkan, tetapi mahasiswa hanya mampu mendumel di dalam hati. Mereka melangkah cepat menuju pintu agar bisa memuntahkan keluh kesah pada dosen yang selalu ter maafkan saat melihat wajah tampannya itu.

Taman kampus ialah tempat yang pas, berlokasi di sisi gedung dengan hamparan rumput, tepat bersebelahan dengan jalan utama. Semarak keluh kesah mahasiswa akan langsung lenyap terbawa angin ke utara.

"Kamu, tunggu sebentar saya mau bicara," cegah Kavi saat giliran Nola hendak melangkah melewati pintu.

Mati!

Nola berdiam sejenak sebelum berpaling. Mulutnya terlihat komat-kamit dengan mata terpejam. Bukan doa yang dirapalnya, melainkan berbagai umpatan.

"Iya?" Nola berpaling, berusaha menguasai diri agar tidak terlalu kentara jika sekarang tubuhnya sedang bergetar.

Baru saja Kavi hendak mengeluarkan suara, nada dering gawai Nola mengalahkannya. Buru-buru Nola minta izin untuk mematikannya sejenak sebelum pasrah menerima apa pun yang akan Kavi ucapkan setelah ini.

"Acil Tini?"

Nola mendapati nomor acil Tini di layar gawai yang baru diambilnya dari dalam tas. Acil Tini ialah tetangga sebelah rumah. Semenjak mama meninggal, acil Tini sangat perhatian pada Nola.


Matanya berkedip-kedip, serta tubuhnya pun terlihat maju mundur hendak melangkah.

"Saya angkat telepon dulu, ya? Penting," ucapnya pada Kavi yang hanya menatapnya tanpa memberi jawaban.

Dan Nola menganggap itu adalah sebuah persetujuan.

"Apa? Iya Nola pulang sekarang," ucapnya yang kemudian langsung berlari keluar kelas meninggalkan Kavi tanpa beban.

Kavi mematung sejenak, lalu bergegas menyusul. Sayangnya di koridor pun hanya tersisa jejak sepatu Nola saja.

***

Nola duduk di kursi kayu panjang berimpitan dengan orang-orang, kepalanya bersandar di dinding berkeramik putih dengan pandangan yang melayang ke plafon transparan berwarna hijau.

Bagaimana kalau papa meninggal?


Kepalanya mulai berdenyut tidak karuan. Hingga akhirnya suara cempreng perawat dari pengeras suara membangunkannya dari lamunan. Bergegas ia menuju apotek yang berjarak empat langkah dari tempat duduknya.

"Atas nama bapak Nugianto Nahdan?" sambut ramah perawat yang mengenakan seragam batik biru di balik kaca di hadapan Nola.

Setelah menerima obat, Nola melangkah lunglai menuju pintu keluar rumah sakit. Ia masih kepikiran mengenai penyakit papanya.

Meski menurut dokter hanya kecapekan biasa dan butuh istirahat, nyatanya baru kali ini papa mengeluhkan sakit. Tidak pernah Nola melihat papa lemas dan pucat.

Pasti diagnosa dokter salah!

"Woi! Jalan sambil melamun, untung gak kesandung!" seloroh Tory dari atas motor begitu melihat Nola memasuki area parkir.

Nola hanya melempar senyum lalu melanjutkan langkah ke arah Tory sambil menatap bukti pembayaran di tangannya.

"Lebih mahal dari minggu lalu, ya? Kenapa gak daftar BPJS aja sih?" tanya Tory begitu Nola berhenti di hadapannya.

Nola menggeleng dan tersenyum kecut. Tanpa aba-aba, ia langsung mengambil helm dari kaca spion lalu memasangnya.

"Ayo pulang, papa nungguin."

Sudah satu bulan sejak pertama kali papa dibawa ke rumah sakit oleh acil Tini dan suaminya, paman Subhan, sejak itu terhitung Nola sudah dua kali bolak-balik untuk menebus resep obat sesuai anjuran dokter.

Di atas motor Nola hanya berdiam diri, Tory pun ikut diam. Sebenarnya bisa saja ia melucu untuk membuat Nola tersenyum, hanya saja sepertinya sahabatnya yang satu itu sedang butuh waktu untuk mengenali emosinya sendiri.

Terlihat dari spion air mata Nola menetes satu per satu. Seakan merasakan pilunya, Tory langsung menarik tangan Nola. Menggenggamnya seakan berkata, tenang ada aku.

Gawai Nola di dalam tas bergetar, membuatnya dengan cepat menarik tangan, merogoh isinya lalu membaca pesan WA yang masuk.

"Sial!" teriaknya kencang.

Tidak hanya Tory yang terkejut, para pengendara di dekat mereka pun tidak kalah terkejutnya.

"Kavi sialan! Aku benci!"

Mendengar nama Kavi disebut, Tory sudah bisa menebak. Alih-alih menenangkan, Tory malah tertawa.

Setibanya di rumah, Nola langsung meminta papa untuk meminum obatnya dengan hanya meletakkan bungkusan obat ke atas meja. Melihat Nola yang terburu-buru, Tory langsung membantu. Mengambilkan air dan memberikan obatnya pada Nugi, papa Nola.

Sementara Nola langsung berlari ke kamarnya. Membuka laptop dan mencari bahan Metode Memasak untuk presentasi malam ini. Ya, malam ini. Kavi itu seperti dosen prioritas di kampus. Bisa kapan saja jam mengajarnya.

Ia mengumpat Kavi habis-habisan. Hingga tanpa sadar matanya memerah membendung tangis. Gawainya mulai berbunyi, satu per satu teman sekelas mulai mengirim pesan.

"Nola, aku sudah ada setengah bahannya, sisanya tolong bantu, ya."

"Nola, aku lagi di bioskop nih, belum bisa kerjain tugas. Titip, yah."

"Nola, ini aku kirimkan bahannya. Tolong dirapikan, ya. Jangan lupa lembaran power point-nya harus ada nuansa vintage."

Dan masih banyak pesan minta tolong lainnya yang belum sempat dibuka Nola karena ketukan pintu dari papa.

Nola terlihat celingak-celinguk mencari Tory di belakang papa, tetapi rupanya sahabatnya sejak SMP itu sudah pulang. Papa mulai berjalan mendekat dan duduk di tepi ranjang. Nola pun bangkit dari posisi tengkurapnya, duduk menghadap papa sambil memangku bantal.

"Kuliah itu penting. Kamu enggak usah khawatir masalah biaya, uang kuliahmu sudah papa sisihkan. Kamu hanya perlu fokus menyelesaikan kuliah. Oke?"

Refleks Nola mengangguk dengan tatapan yang terpaku pada bantal bersarung kotak-kotak merah muda di pangkuannya.


Dosa Nola di Kampus Ganas [TAMAT]Where stories live. Discover now