Bab 79

61 4 0
                                    

Nola membuka laptop. Tiga laporan harian yang belum direvisi segera diselesaikan, sesuai arahan dari Kavi langsung. Saking bersemangat karena terus disuntik kalimat bernada ancaman oleh Kavi, gadis itu tidak membiarkan tangan menyentuh salad buah, puding, dan jus strawberry yang sudah dihidangkan.

Seakan hanya memedulikan perutnya seorang, Kavi asyik mengunyah salad buah sembari memeriksa laporan harian Nola. Bahkan ketika sudah habis satu mangkuk, dosen itu kembali ke dapur untuk membuatnya lagi.

"Yes! Akhirnya kelar!" sorak Nola begitu Kavi memberikan cheklist pada lembaran terakhir dari laporannya.

Baru saja gadis itu hendak menyedot jus strawberry yang merahnya begitu menggoda, Kavi mengingatkan akan sidang hasil KKN besok.

Membuang napas kasar dan meninggalkan gelas jus. Berjalan menuju teras, membunyikan pinggang serta tengkuk. Lelah, gadis itu hanya ingin istirahat sebentar.

Saat itu juga, datang sebuah mobil mewah yang hanya bisa menampung satu penumpang. Memasuki carport rumah Kavi. Nola mematung begitu melihat siapa yang keluar dari mobil tersebut.

"Kamu?" sapa pria itu seraya mengingat-ingat.

"Nola. Saya Nola."

"Pacar?"

"Teman," potong Nola cepat begitu melihat arah tatapan pak Felix.

Kavi yang berdiri di belakang, tepat di ambang pintu itu segera menyambut kedatangan pak Felix, "Papi mau berangkat lagi?"

Hah? Papi? Pak Felix papanya Kavi?

Tidak ingin kedengaran Nola, pak Felix merangkul Kavi masuk ke rumah. Ada obrolan mereka di ruang tamu yang tidak bisa di dengar Nola. Gadis itu juga sedang enggan menguping, ia memilih untuk sibuk memikirkan apakah benar Kavi anaknya pak Felix si pemilik kampus?

Duduk di kursi teras dengan pikiran yang melalang buana. Sekalian menyiapkan pertanyaan untuk Kavi.

Tapi, apa urusanmu, Nola? Mau anaknya pak Felix atau bukan, apa urusanmu? Kok kepo banget?

Tidak lama, pak Felix keluar bersama Kavi. Ia berpamitan karena harus ke luar kota malam ini juga, mengingat besok pagi-pagi harus sudah ada di negara tetangga. Dan seperti yang Nola duga, pria paruh baya itu memilih bandara di Kota Beriman.

Usai mengantar laju mobil dengan sebuah lambaian dan sebaris kalimat perhatian, Kavi mendatangi Nola yang masih duduk. Dosen itu ikut duduk di samping.

"Papaku."

Nola menoleh, melempar sebuah senyuman yang kecut. Duh, apa jiwa kepoku terlalu kentara?

"Moira ada cerita apa aja?" sambung Kavi tanpa menoleh.

Awalnya gadis itu menggeleng, tetapi akhirnya ia mengatakan sesuai cerita Moira, bahwa mereka balikan.

Sontak Kavi menoleh tidak percaya. Ia memang mengaku salah pada Moira dan ingin hubungan mereka kembali seperti dulu. Namun, saat itu Moira justru menolaknya.

"Dia bilang kalau cinta itu enggak harus memiliki. Dan dia enggak mau memaksa perasaan seseorang untuk sama dengan perasaannya."

Mampus!

Nola tahu sudah salah bicara. Ia segera meminta maaf karena sudah lancang menyimpulkan sesuatu, tanpa memastikan terlebih dahulu.

Kavi mengurai senyum. Mengulang pertanyaannya, "Tentang saya yang kerja di kampus Ganas."

Gadis itu pun ber-oh ria. Namun, memilih untuk tidak menceritakan apa yang sudah diceritakan Moira. Ia takut salah bicara lagi. Hingga menggeleng adalah suatu jawaban yang ampuh.

"Menurut Moira, saya bekerja di kampus berkat pak Thomas, papanya. Ya, saya akui, kalau tidak didorong Moira seperti itu, mungkin sekarang saya tidak di sini. Saya di site, kemp batu bara. Dulu setelah lulus kuliah, saya tertarik untuk jadi manajer di perusahaan batu bara milik papi. Tapi saya ketemu Moira. Perempuan yang nekat mengusahakan saya di depan papanya, untuk jadi dosen di kampus tempat papanya kerja hanya karena ijazah S2 saya. Tanpa setahu Moira kalau kampus itu juga milik papi. Tapi biarlah Moira tahunya seperti itu."

Seakan menahan napas sejak tadi, Nola membuangnya dengan kasar. Menyandarkan punggung ke punggung kursi. Keterkejutannya tergantikan dengan sepucuk rasa senang. Karena Kavi hanya menceritakan hal itu kepadanya.

Juga mendengar pengakuan Kavi yang mengatakan bahwa antara dirinya dan Moira tidak ada hubungan apa-apa. Tapi kenapa Moira malah menolak? Bukannya dia ambisius, tergila-gila pada Kavi?


Tidak mau membuang waktu terlalu banyak, Kavi mengajak Nola untuk masuk kembali. Kali ini ia membantu mahasiswinya itu untuk menghadapi sidang hasil KKN.

Bahkan dengan suka rela ia membantu Nola mengerjakan bahan untuk presentasi besok. Tidak cukup sampai di situ, gadis itu dipaksa untuk berlatih di depannya.

Awalnya, Nola malu-malu untuk berdiri di depan Kavi yang duduk santai di sofa ruang tamu. Namun, karena banyaknya salah dan terlalu dihujani kritikkan, akhirnya rasa malu itu berubah menjadi kesal sekaligus lelah.

Nola tidak lagi malu-malu, justru apabila mendapat kritik dan saran, ia tidak malu untuk menggerutu. Bahkan memelototi dosen itu.

Hampir tengah malam, Nola terpaksa harus menyudahi pertemuan mereka. Walau menurut Kavi belum terlalu sempurna untuk tampil saat sidang besok, tetapi Nola yakin seribu persen kalau besok ia akan berhasil merebut nilai A.

"Asal dosen pengujinya bukan kamu," gerutu Nola sambil mengunyah salad buah.

Setelah menghabiskan kudapan buatan Kavi, dosen itu pamit sebentar ke kamar. Mengambil jaket dan kunci mobil. Sementara Nola membereskan buku dan laptop ke dalam ransel.

Ia menunggu cukup lama. Karena khawatir tertidur, gadis itu berinisiatif untuk membawa piring dan gelas-gelas bekas jus di atas meja ke dapur. Awalnya hanya meletakkan di bak pencuci. Namun, merasa tidak sopan, ia segera menuang sabun ke mangkuk yang berisi sabut pencuci.


Mencucinya sambil senyum-senyum. Membayangkan bila menikah dengan Kavi, mereka akan makan bersama, dan Nola melakukan pekerjaan rumah sembari menunggu dosen itu pulang mengajar.

Nola! Bangun! Jangan mimpi! Menepuk-nepuk pipi dengan jemari yang masih basah dan bersabun.

"Ehem." Sebuah deheman membuat Nola menoleh.

Alangkah terkejutnya gadis itu ketika melihat seorang wanita berambut pirang, panjang, dan memakai kaos ketat serta hot pants berdiri di belakangnya. Seingatnya, sejak tadi tidak ada siapa pun di rumah, selain dirinya dan Kavi.

"Siapa kamu?" tanya Nola dengan suara bergetar.

"Aku? Aku tinggal rumah ini. Kalau kamu? Pembantu baru, ya? Eh, bentar-bentar. Kok kayanya kita pernah ketemu? Tapi di mana, ya?"

Mendengarnya, Nola langsung beranjak tanpa mencuci tangan yang masih berkubang busa sabun. Mengambil ransel dengan niat hendak pergi.

"Nola, tunggu," cegah Kavi yang baru keluar kamar.

"Oh, jadi nama pembantu baru kita Nola?" tanya perempuan berambut pirang itu pada Kavi.

Ia berdiri di sisi dosen itu dengan tangan berlipat di dada. Nola yang sudah berdiri di ambang pintu itu, menatap seraya menggali ingatan. Ia juga merasa pernah melihat perempuan itu. Tapi di mana?

Tanpa mau menjawab, Kavi melangkah menuju Nola, "Sudah malam, biar saya antar."

"Sayang, kamu mau ke mana? Aku baru pulang loh." Jeritan perempuan itu membuat Nola yakin untuk pulang sendiri.

Melepaskan cengkeraman tangan Kavi dan segera berlari. Mata mulai memanas. Dada bergemuruh hebat. Ada kekecewaan jauh di dasar sana.

Ini salahmu! Kamu gak pernah tanya dia sudah punya istri atau belum!







Dosa Nola di Kampus Ganas [TAMAT]Where stories live. Discover now