Bab 52

71 3 0
                                    

Waktu mengalir sederas arus yang mulai membabi buta apabila truk besar melintas pelan. Banyak orang yang merelakan knalpot motor mereka terisi air banjir yang berwarna cokelat itu, se-cokelat kopi susu bungkusan. Karena tidak bisa mendadak berubah menjadi super hero yang bisa mengangkat motor, mobil, atau bahkan rumah.

Langit masih saja enggan mengusir kelamnya awan mendung. Memaksa rumah-rumah yang sudah menahan bendungan air sekuat tenaga, harus menelannya. Banyak orang yang sengaja menumpuk tumpukan pasir di ambang pagar dan pintu. Bahkan dari dulu-dulu, banyak juga yang menyemen tiga sampai delapan bata di ambang pintu.

Nola memberi kabar kepada papa yang sudah berada di kafe karena antusiasnya. Ia tidak bisa berjanji datang tepat waktu. Papa mengerti, kabar dari Nola justru menenangkan hatinya. Karena hujan terlalu mendramatisi perasaan.

"Apa kata papa?" tanya Kavi begitu Nola sudah mengakhiri telepon.

"Kata papa?" Nola mengulangi pertanyaan Kavi.

"Eh, maaf, maksud saya papa kamu, pak Nugi," ucap Kavi yang jadi salah tingkah.

Gadis itu tidak menjawab. Berusaha menetralkan degup jantung. Memperbaiki posisi duduk dan mencari objek yang bisa dijadikan fokus di luar sana.

Duh! Kenapa harus deg-degan sih Nola!

Azan magrib berkumandang, mau tidak mau mereka menikmatinya bersama banjir yang kian meluap. Kaki Kavi sejak tadi tidak bisa beristirahat, meski jalan mobilnya seperti siput, tetap saja gas dan kopling perlu dimainkan.

Tanpa izin, Kavi mengeluarkan sebatang rokok dan menyesap dalam-dalam begitu kaca jendela dibukanya. Melihat asap yang mengepul, Nola buru-buru ikut membuka jendela.

Seakan baru sadar, Kavi segera meminta maaf. Namun, Nola tidak mempermasalahkan. Ia memilih untuk mengerti. Pusingnya seorang laki-laki terkadang memang hanya perlu campuran tembakau dan nikotin. Tidak peduli menghabiskan berapa puluh batang dalam satu hari, itulah kebahagiaan laki-laki yang sering dipusingkan kaum hawa.

Mobil kian merayap. Jalanan depan semakin macet karena tidak hanya satu dua kendaraan yang mencari jalan tikus bebas banjir. Arus lalu lintas menjadi tidak terkendali, hingga datang seorang petugas yang mengenakan mantel turun ke jalan. Meniup peluit sebagai penambah arti akan gerakan tangan yang tidak berhenti memerintah agar semua bisa mencapai tujuan.

Tiba giliran mobil Kavi. Dosen itu tidak mau mengambil jalan tikus. Ia tetap lurus yang mana di depan banjir tinggi sudah menghadang. Nola sempat tidak yakin bisa melewatinya. Namun, Kavi tidak ragu terus menginjak gas.

Deburan arus menghantam lembut mobil yang bisa dibilang mobil berbadan besar. Terus merayap membelah banjir yang cukup panjang dan dalam. Tidak ada yang berani melewati jalan ini, selain truk dan mobil berbadan besar lainnya.

Setelah tiga menit, akhirnya mereka lolos dari banjir terkutuk. Haruskah kota ini dipayungi? Ah, sepertinya percuma. Karena debit air yang turun tidak lagi terserap sempurna. Semua menjatuhi aspal, kubangan, danau-danau dadakan, dan sungai.

Setelah itu ban mendecit di sepanjang jalan yang basah. Jalan yang tidak banjir menjadi lengang di arah sebaliknya. Membuat Kavi menginjak gas dalam-dalam, entah sebagai bentuk balas dendam atau takut terlambat tiba di kafe.

Memasuki area ruko, Kavi menginjak rem begitu mendadak saat memarkir mobilnya di area parkir. Jantung Nola hampir melompat dibuatnya.

"Ayo turun," buru Kavi yang sudah berada di luar mobil.

Gadis yang masih sibuk mengatur napas itu melepas seat belt perlahan. Lalu turun pun dengan perlahan. Lutut yang lemas membuatnya harus berpegangan pada tubuh mobil yang sepenuhnya basah bercampur bercak-bercak becek.

Bersandar sebentar, tidak peduli jika jaket jinnya kotor, "Gila itu dosen!"

Baru saja hendak mengomeli di depan mata, Kavi ternyata sudah tidak ada di area parkir. Nola pun segera berlari menuju kafe dengan jaket jin yang menutupi kepala.

Suasana kafe cukup ramai dengan beberapa pengunjung. Nola sempat berdiam sejenak di ambang pintu. Tersenyum melihat papa yang menyambutnya.

"Semoga seterusnya kafenya rame, ya, Pa," ucapnya dalam pelukan.

Papa mengangguk setuju. Dengan saling merangkul, mereka menuju dapur. Terlihat Kavi sudah berjibaku dengan beberapa menu yang tertulis di kertas yang tertempel di dinding pesanan.

Nola melepas ransel dan jaket, mengambil segelas air dan menenggaknya habis. Cerita pun mengalir bebas sebebas arus banjir tadi. Papa duduk di hadapan, mendengarkan dengan saksama. Sepiring potatoes wedges sudah tersaji di meja antara mereka.

Satu meja yang ditemani dua kursi memang disediakan di area dapur. Fungsinya diharapkan bagi siapa pun yang duduk, bisa saling berbagi cerita. Karena cerita yang dibagi, sejatinya akan mengurangi beban dalam pikiran. Meski belum tentu bertemu solusi.

Usai menguraikan cerita, Nola bangkit dan bersiap-siap. Memasang celemek, mengambil buku pesanan dan pulpen. Sementara papa hanya duduk memandang layar laptop yang menampilkan laporan keuangan dari meja kasir pada malam hari ini.

Hujan memang berkah. Semakin malam, kafe semakin ramai. Padahal hujan masih betah berlama-lama mendera bumi. Saking ramainya, ada beberapa yang harus menunggu sebelum menempati meja. Sebab kursi dan meja di teras tidak bisa digunakan, meski berpayung, tetapi tetap saja kena tempias.

Melihat Kavi dengan jurus seribu bayangannya, papa berniat membantu. Entah untuk menyiapkan bumbu atau kecap-kecapan.

"Bapak duduk saja. Biar saya yang kerja. Kan ini sudah kesepakatan kita. Lagian, nanti bapak kecapean," tolak Kavi halus.

Papa kembali duduk. Kali ini, ia memilih duduk di meja kasir. Bukan sebagai kasir, hanya di belakangnya saja. Memandang suasana kafe, sekaligus memerhatikan Nola. Kavi memang layak diberi satu asisten. Namun, mengingat Nola pernah menolak ketika diminta menjadi kasir, papa mengurungkan niat untuk meminta anak gadisnya itu membantu Kavi di dapur.

Alhasil, ia memanggil satu pramusaji untuk berpindah tugas. Kebetulan, ia adalah orang lama yang biasa membantu papa di dapur dulu. Tersisa dua pramusaji, dan Nola tidak bisa selalu diandalkan. Papa tahu ia harus fokus kuliah.

"Pa! Melamun aja," kejut Nola.

Papa yang tersentak segera melepas senyum. Berdua memandang suasana kafe. Berbeda dengan papa yang diliput rasa senang, Nola justru mengecek laptop papa. Membaca satu per satu laporan keuangan sementara pada malam hari ini.

"Laporan harian bisa dicek kalau sudah closing," ucap papa seraya menepuk bahu Nola.

Nola hanya tersenyum kecut. Menutup laptop dan kembali bekerja ketika dua orang yang berlindung di bawah jaket yang sama, masuk ke kafe.

"La, yang anget dua."

Nola mengikuti kedua orang tersebut yang tidak lain adalah Tory dan Moira. Begitu mereka menemukan meja kosong, Moira segera mengoreksi pesanan Tory.

"Aku jus melon loh, ya," ucap Moira yang mendapat kerutan kening Tory. "apa! Hawa panas kok minum yang panas," lanjutnya.

Nola segera mencatat, termasuk pesanan makanan dua orang itu. Dan pamit ke dapur.

"Oke, satu nasi goreng spesial, satu nasi goreng ceker, untuk Tory sama Moira," kata Kavi mengulangi perkataan Nola.

Mampus!







Dosa Nola di Kampus Ganas [TAMAT]Where stories live. Discover now