Bab 22

114 13 0
                                    

Sepucuk tulisan dalam fail yang diberi Kavi dalam diska lepas tersebut membuat Nola mau tidak mau harus melakukannya malam ini. Gadis itu tidak mau mempertaruhkan nilai yang sudah cukup sempurna.

"Dosamu tingkahnya ada-ada aja, ya. Bilang aja kalau mau dimasakkan sama kamu. Mana denahnya tradisional banget lagi. Udah ada fitur live location ini," seru Tory yang geleng-geleng kepala usai membacanya sendiri dari ponsel Nola.

"Dosaku? Ih! Amit-amit!" seru Nola bergidik.

"Awas loh!"

"Awas apa! Jatuh cinta? Gak mungkin! Sudah aneh, tua pula! Gak doyan!" sahut Nola cepat.

Tory hanya tertawa seraya meninggalkan ruangan, sebab harus memenuhi panggilan perawat yang memanggil melalui speaker ruangan.

Setelah kunjungan dokter sebelum kedatangan Kavi tadi siang, Nola dinyatakan sudah boleh pulang sore ini. Gadis itu benar-benar bersyukur, sebab tidak lagi membebani Tory dengan merawatnya sekaligus memperhatikan papa di rumah.

Sekembalinya Tory dari meja administrasi, Nola yang menunggunya dalam ruangan, sudah memakai tas ransel dan menjinjing satu tas berisi pakaian. Gerakannya benar-benar cekatan setelah perawat melepas selang infus.

Mereka langsung menuju rumah Nola hanya untuk menaruh tas pakaian. Kemudian lanjut menuju rumah Kavi setelah mendapat izin dari papa.

Setelah mengikuti denah dari fail yang berada dalam diska lepas yang sudah di screenshot, akhirnya mereka tiba di perumahan elite tepat di samping deretan ruko kafe 0A. Kafe yang kini masih mati suri, tetapi keuntungan selama hampir tiga tahun tetap berjalan membiayai kehidupan Nola dan papa. Keputusan papa untuk mendepositokan keuntungan sangat berguna untuk saat-saat seperti ini.

Dengan meninggalkan KTP di pos satpam, Tory dan Nola diantar menuju blok rumah Kavi. Sebuah rumah lantai satu berpagar kayu minimalis tersebut terlihat sangat sepi.

Begitu satpam pamit pergi, Nola mencoba untuk menekan bel yang tersedia di sisi pagar. Tidak lama, Kavi keluar membukakan pagar.


Hanya seutas salam yang sempat terurai dari mulut Nola. Setelah memberikan jaket pada Kavi, dosen itu buru-buru meminta mereka untuk masuk. Sebuah pintu kayu berwarna coklat terang menganga lebar, memperlihatkan sofa hitam di dalamnya.

Nola dan Tory melepas alas kaki seperti kebiasaan mereka jika di rumah. Namun, di sini Kavi melarang. Katanya sih lantainya kotor, tetapi Nola dan Tory merasa justru keramik marmer yang sedang diinjak ini akan kotor jika mereka tidak melepas alas kaki.

Ah, sudahlah.

Berjalan ke arah kiri, ada ruang keluarga yang hanya bersekat sebuah lemari partisi yang memuat pajangan-pajangan abstrak. Berjalan terus, lalu belok ke kiri. Di sana terlihat dapur dan mini bar.

Nola dan Tory tidak bisa berkata banyak, sebab mereka tidak tahu Kavi tinggal dengan siapa. Sedangkan keadaan rumah, apalagi dapur terbilang sangat rapi.

"Silakan masak," ucap Kavi yang malam ini hanya mengenakan celana pendek dan kaos oblong, rambutnya pun tidak diikat.

Nola mengedarkan pandang. Mencari bahan untuk di masak. Tetapi tidak menemukan satu pun. Tory yang duduk di mini bar, disuguhi minuman soda dan perbincangan basa-basi dari Kavi.

"Maaf, masak apa, ya? Bahannya mana?" tanya Nola dari belakang memotong perbincangan kedua laki-laki itu.

Kavi berdiri, menunjukkan isi kulkas, kotak penyimpanan beras, dan rak yang berisi aneka saus dan kecap.


Yang terlintas di kepala Nola saat ini hanya nasi goreng. Jadilah gadis itu memasak nasi goreng seperti menu di kafe.

Setengah jam kemudian, sepiring nasi goreng yang sudah dihias sedemikian rupa di atas piring pun sudah jadi. Kavi melihatnya dengan saksama seraya mengangkat piring. Tatap mereka terhalang telur mata sapi yang berbaring di atas tumpukan nasi.

Dosen itu meletakkan kembali piring ke atas meja, lalu dengan gerakan cepat ia mengambil sebungkus roti gandum, mengoles selai cokelat, lalu memanggangnya. Tangannya tidak diam setelah itu, ia masih mengambil blender dan menghancurkan buah strawberry yang diambilnya dari dalam kulkas. Mencampur dengan susu, yogurt, dan beberapa tetes madu serta tambahan lainnya yang Nola tidak tahu itu apa.

Setumpuk roti panggang dan jus strawberry terhidang di atas meja bersama sepiring nasi goreng. Nola dan Tory duduk dalam diam menatap Kavi yang juga sedang menatap mereka.

"Kamu gak lapar, Tor?" tanya Kavi.

Tory sempat diam, berpikir apakah ini sebuah tawaran atau basa-basi mengusir pulang?

Seakan tidak sabar menunggu jawaban, Kavi langsung mengambil dua piring dan dua gelas untuk menuang nasi goreng dan jus ke dalamnya. Lalu dengan sebuah nampan besar yang memuat semua piring dan gelas, ia meminta langkahnya untuk diikuti.

Mereka berjalan menuju pintu di samping meja makan. Ruang cuci yang terdapat tangga spiral itu ternyata membawa ke bagian rooftop rumah ini.

Atapnya yang transparan membuka lebar ketika Kavi memencet salah satu tombol di dinding. Taburan bintang pun memanjakan mata. Tory begitu antusias dan heboh. Ia ke sana kemari mengelilingi rooftop yang berukuran 3x3.

"Masak gini aja lama," ucap Kavi yang langsung menyuap nasi goreng.

"Tapi nilai saya gak jadi E, kan?" tanya Nola dengan gugup.

Kavi mengulum tawanya.

***

"Tor, aku tuh bukannya harus marah sama Kavi gara-gara penggemar garis kerasnya, ya? Terus, harusnya kan aku bisa nolak tugas dari Kavi, apalagi belum sehari keluar dari rumah sakit. Tapi kenapa semalam aku masih ketipu Kavi sih?" Nola membuang napasnya kasar.

Berbalik badan bersandar di tembok koridor yang berfungsi sebagai pagar pembatas. Sementara Tory hanya berdiam diri dengan kedua tangan di atas pagar. Matanya fokus ke halaman kampus yang juga terdapat hamparan rumput, hamparan bunga-bunga, danau teratai yang ada jembatan kayu di atasnya, juga pohon-pohon yang jauh lebih rindang, dan tentu lebih banyak peminatnya. Di seberang sana, terdapat tembok pembatas setinggi delapan meter dan berbatasan langsung dengan halaman parkir sebuah pusat perbelanjaan.

"Ingat nilai, La." Jawaban Tory semakin membuat Nola mencebik kesal.

"Nyebelin kamu, ah! Eh, kamu kenapa sih? Kok diam aja dari tadi?" tanya Nola yang mulai menyadari ada yang beda dari sahabatnya itu.

"Ah, gak. Aku, aku biasa aja. Eh, aku ke kelas dulu, ya."

Nola tahu ada sesuatu yang mungkin belum bisa Tory ceritakan padanya. Tidak ingin mendesak, Nola melangkah ke arah berlawanan. Menuju kelas yang pagi ini diisi Kavi pada jam pertama.

Di kelas, teman-teman sibuk menyindir perkara ketidakhadiran Nola. Yang rupanya selama dua hari gadis itu tidak masuk, Kavi memberikan tugas ekstra dua kali lipat banyaknya. Karena Nola tidak masuk, mereka terpaksa menyelesaikan sendiri dan ada yang berkelompok.

Gadis itu duduk menyendiri, sibuk dengan pikirannya. Menjadi orang yang terlalu baik hati bukan jaminan kebahagiaan hati. Begitu pun dengan menjadi orang yang enggak enakkan seperti dirinya. Yang kerap disalah artikan dengan kebanyakan orang, terutama teman.

Lalu bagaimana caranya memulai untuk berani berkata tidak? Sedangkan ketulusan tidak bisa diarahkan apalagi dikekang.

Tiba-tiba seisi kelas bersorak riuh. Nola tersadar akan lamunannya, memperbaiki posisi duduk. Ternyata sudah ada Kavi di depan. Dengan menjatuhkan tatapan tepat di iris mata Nola. Sepertinya ia habis mengatakan sesuatu.






Dosa Nola di Kampus Ganas [TAMAT]Where stories live. Discover now