Bab 44

78 3 0
                                    

Sudah hampir pagi, mata Nola masih betah menatap langit-langit kamar dengan penerangan lampu tidur di atas nakas. Guling di atas dada, sedari tadi menjadi sasaran empuk. Dipukul, ditonjok, dilempar, bahkan digigit.


Sesekali guling bersarung senada dengan seprai itu dibasahi air mata. Hingga menimbulkan jejak di atas warna-warni bubblegum yang bergaris.

Begitu juga dengan selimut merah muda polos yang menutupi setengah tubuh. Berkali-kali ditendang dan dilempar. Ya, meskipun dipungut lagi.

Ingin saja bertanya kenapa papa mengambil keputusan secara sepihak, tetapi tentu saja nyali itu bersembunyi dalam-dalam hingga sulit ditemukan.

Kembali meneguk air di dalam botol, hampir habis. Duduk di tepi ranjang, memegang ponsel. Menggulir sosial media hingga azan subuh berkumandang. Demi melawan rasa kantuk yang perlahan merayap, dengan cepat ke kamar mandi. Mandi dan bersiap.

Sebelum berangkat, Nola membeli semangkuk bubur ayam yang kebetulan lewat di depan rumah. Meletakkan mangkuk ke atas meja makan, lalu menutupnya dengan tudung saji.

Jam dinding masih menunjuk angka enam, papa terbangun dan terburu-buru menuju dapur. Ia kesiangan. Tepat di ruang keluarga, ia dan Nola bertemu tatap.

Gadis yang sudah rapi dan wangi itu tengah melangkah hendak menyambangi ojek motor yang sudah menunggu di depan. Namun, begitu melihat papa, ia jadi terdiam.

Sambil mengucek mata, papa berusaha melihat dan bertanya jam berapakah ini. Nola menjawab dengan keenam jari tangan yang mengacung. Seketika papa memelototi anaknya dari atas ke bawah, memastikan penglihatannya tidak keliru.

Nola tidak bisa berkata banyak, selain mengkambing hitamkan tugas. Papa yang masih mengumpulkan nyawa, segera mengangguk dan mengizinkan Nola untuk mencium punggung tangannya. Setelah itu menguap lebar menuju dapur ketika Nola memberitahu bahwa ia sudah membelikan bubur ayam.

Sorry, Pa. Nola bohong.

Menutup pagar seraya mengulang permintaan maaf di dalam hati, berharap bohongnya kali ini tidak tercatat sebagai dosa.

Jalanan masih sepi, membuat kang ojek dengan gesit meluncur di atas semen dan aspal kota. Begitu juga ketika melewati koral-koral yang menggeliat di atas aspal. Biasanya jalanan itu bersembunyi di pojok kota, dekat dengan desa. Sehingga sulit dijangkau orang-orang yang memiliki kekuasaan atas kebijakan.

Motor terus melaju ke salah satu perumahan elite. Dengan meninggalkan kartu identitas di pos satpam, Nola menuju rumah Kavi. Ia turun dari motor dan meminta kang ojek untuk menunggu.

Nola memencet bel berkali-kali, tidak ada tanda-tanda orang yang akan membuka pintu. Hatinya semakin geram. Diambilnya ponsel dalam ransel dan mencoba menghubungi Kavi.

"Pagi." Sapaan seseorang menghambat jemari Nola untuk menemukan nama Kavi dalam kontak.

Ia menoleh ke arah suara. Rupanya sang pemilik suara ialah seorang perempuan cantik berambut panjang yang diikat tinggi. Nola membalas senyuman manis itu.

"Maaf, cari siapa?" tanya perempuan itu ramah seraya mengelap keringat dengan handuk kecil yang melingkar di leher.

"Saya, saya, saya mau ketemu Kavi," jawab Nola ragu.

Perempuan itu langsung ber-oh ria. Lalu mengatakan jika Kavi sudah berangkat. Dan sambil membuka pagar, ia meminta Nola untuk masuk terlebih dahulu. Namun, tentu saja Nola lebih memilih untuk menemui Kavi saja.

Setelah pamit yang terburu-buru, Nola langsung meninggalkan perumahan elite itu. Menuju kampus dengan pikiran yang bertambah. Ya, tanpa sadar ia memikirkan siapa perempuan tadi.

Setibanya di kampus, Nola langsung berlari menuju ruang dosen. Sayangnya hanya ada pak Togar di sana. Dengan usulan-usulan yang kian mencuat dalam kepala, Nola mengunjungi kantin, perpustakaan, dan taman. Namun, hasilnya nihil.

Masa iya perempuan tadi bohong? Siapa sih dia?

Merasa frustrasi, Nola yang sedang menyusuri koridor, tanpa sengaja menangkap Kavi dalam pandangan. Dosen itu sedang asyik membaca di bangku taman utama kampus.

Segera berlari menuju lift dan menyisir sisi taman. Sebab Kavi berada di sudut, dekat hamparan bunga celosia.

Dengan napas ngos-ngosan, Nola berdiri di hadapan Kavi yang dengan santai menutup buku dan melepas kacamatanya. Memerhatikan wajah Nola dengan saksama. Menunggu kalimat apa yang akan disemprotkan gadis itu.

"Siapa perempuan tadi?" Tiba-tiba pertanyaan itu terlontar begitu saja.

Hah! Mati!

Setelah mengatur napas yang disaksikan Kavi yang terheran-heran, Nola kembali memperbaiki pertanyaan, "Apa yang kalian bicarakan?"

Dengan tenang, dosen itu meminta Nola untuk duduk di sisi. Walau mendapat penolakan sebanyak dua kali, ia tetap gigih hingga berhasil membuat Nola duduk.

Duduk di ujung bangku dengan menjaga jarak agar tetap berjauhan, Nola tidak sabar ingin mendengar jawaban. Entah jawaban yang sederhana atau rumit, yang jelas jantungnya sudah berdegup kencang lebih dulu.

"Maksud kamu, saya bicara pada perempuan yang mana?" tanya Kavi dengan senyum-senyum.

Heh!

Nola segera menepis dengan bibir mengerucut. Ia mengulang pertanyaan dengan kalimat yang jauh lebih jelas. Begitu mengerti, Kavi yang semula menghadap Nola, jadi melempar pandangan ke hamparan bunga celosia.

Jeda yang tercipta, terasa begitu lama. Padahal bumi masih berputar sebagaimana mestinya. Begitu juga dengan tiupan angin dan gugurnya beberapa daun kering, seakan menimbulkan suara yang paling nyaring pada saat ini.

Kavi baru membuka mulut, sebuah kata yang sudah di ujung lidah mendadak tertelan ketika Nola dengan lantang menyuarakan sebuah protes.

"Papa belum diskusi sama aku. Jadi jangan anggap masalah ini selesai."

Kavi mengusap wajah kasar. Memandang gadis di sampingnya yang tengah bersungut-sungut seperti hendak meledak. Sementara otaknya sibuk mencari-cari kalimat yang pas.

Dalam sekejap Kavi sudah menggenggam tangan Nola. Sontak saja gadis yang masih duduk di bangku itu berusaha melepaskan. Namun, apa daya karena belum sarapan, ditambah perbedaan tenaga perempuan dan laki-laki, maka ia tidak bisa melawan.

Kavi membawanya melangkah, entah ke mana. Aksi tarik menarik pun terjadi, meski di sudut taman, tetapi banyak pasang mata yang tengah memerhatikan dan mengabadikan. Yang suatu saat akan sedap bila ditambah sedikit bumbu-bumbu penggugah rasa.

"Lepasin!"

"Ikut saya!" tak kalah memelotot, Kavi ingin sekali menunjukkan sesuatu kepada Nola.

Di kejauhan, terdengar teriakan ledekan. Yang rupanya dari Tory. Laki-laki itu tampak cerah sekali pagi ini. Dengan senyum dan sedikit tawa yang berseri-seri ia tidak berhenti meledek.

Seketika, Kavi melepas genggaman. Nola pun dengan cepat berjalan menjauh tanpa menoleh ke belakang. Memegangi pergelangan tangan yang sedikit sakit.

"Saya cuma mau kasih lihat surat hitam di atas putih, yang ditandatangani papa kamu dan saya. Suratnya ada di dalam tas saya, di ruang dosen. Tapi papa kamu juga pegang satu." Teriakkan Kavi membuat Nola berhenti melangkah.

Rasa tidak terima, protes, marah, kecewa, melebur, membaur menjadi satu dengan helaan napas. Di ujung sana, Tory yang ikut mendengar, langsung mengeringkan senyum dan tawa. Dengan khawatir, ia menyambangi Nola.





Dosa Nola di Kampus Ganas [TAMAT]Where stories live. Discover now