Bab 70

68 4 0
                                    

"Wah, bagus kain seragamnya. Jadi, kamu dapat di toko mana? Toko yang bunda kasih tahu itu bukan? Bagus-bagus kan di sana kainnya, murah juga daripada di lain-lain," bunda menerima dua meter kain batik dari Moira.

Sementara Nola yang duduk di antara keduanya, merasa harus segera mengeluarkan pertanyaan. Dengan jiwa kepo tingkat maksimal, ia melempar pertanyaan ke Moira sebelum perempuan itu menjawab rangkaian pertanyaan bunda. Menunggu beberapa saat hingga tak ada jawaban yang didengar, pertanyaan itu dilempar ke bunda.

Bunda malah bertanya balik, ia merasa tidak mungkin Nola tidak tahu. Sebab dirinya saja diberitahu sebuah rencana oleh Moira. Jantung Nola mulai berirama cepat. Ia menoleh lagi ke Moira.

"Jadi, kita tuh mau -" Moira mulai menerangkan.

"Nikah? Iya? Kalian mau nikah?" potong Nola cepat.

Bunda dan Moira kompak terkejut. Saling berpandangan lalu tawa mereka berderai. Membuat Nola semakin ingin tahu.

"Mau pakai seragam. Aku sama kamu pakai kebaya brokat yang tadi kita beli, bawahannya pakai kain batik ini. Nah, si Tory pakai baju batik dari kain ini," terang Moira begitu bisa menghentikan tawa.

Nola berdiri, memegang jidat dan beranjak sedikit lebih jauh. Ia menertawakan diri sendiri di dekat pot tanaman bunda. Tawanya kian mengeras seiring mengingat dugaan yang terlalu jauh.

Untuk membuang malu, ia pura-pura protes pada Moira. Bahkan mengancam jika perempuan itu menikah tanpa memberitahunya terlebih dahulu. Apalagi kalau calonnya adalah Tory. Mengingat, ia pernah sangat menentang sahabatnya itu untuk mendekati Moira.

Tiba-tiba Tory datang, belum saja laki-laki itu turun dari motor, Nola langsung mengurai pelukan. Semakin lama semakin mengerat. Mereka mengakui kadar rindu yang sama.

Bersama-sama menuju sofa ruang tamu, Moira langsung memamerkan kain batik. Bahkan perempuan itu berusaha menceritakan prasangka Nola yang mengira mereka akan menikah. Kalau saja serangan bantal dari Nola tidak ada, mungkin cerita itu sudah lolos begitu saja.

"Tor, masa Nola kira kamu mau nikah sama Moira. Gara-gara Moira ke sini bawa kain batik." Dengan enteng bunda mengatakannya sambil membawa beberapa stoples camilan.

***

Pukul tiga subuh, Nola yang berhasil mengusir rasa kantuk dengan kobaran semangat itu mengeluarkan kebaya merah dan rok batik dari dalam lemari. Kain pemberian Moira di buat menjadi kebaya yang bermodel sama. Bahkan mereka menjahitnya di tukang jahit yang sama.

Mencobanya di depan cermin sambil berputar-putar. Kebaya merah itu tampak elegan. Nola sangat menyukainya.

Seandainya ia bisa meneruskan percepatan semester, hari ini tentulah akan menjadi hari bahagianya juga. Sayangnya semua hanya kenangan. Yang masih tersisa dalam relung hati paling dalam.

Melepaskan perjuangan demi bisa menjalani percepatan semester, bukanlah hal yang biasa. Ada banyak air mata dan luka hati di setiap langkahnya selama satu semester.


Tidak ada air mata di depan papa dan para dosen, bukan berarti Nola tidak menangis. Meski tidak ada yang memaksanya menjalani percepatan semester, tetapi Nola telah kecewa pada dirinya sendiri.

Yang tidak bisa menjadi tangguh, kuat, atas cobaan yang datang mendera. Menurutnya, kuliah sambil merawat papa tidak cukup sulit untuk dijalani. Namun, nyatanya semua tidak seindah perkiraan. Ada waktu yang harus dibagi rata, ada jiwa yang harus dijaga kewarasannya, ada tubuh yang berhak istirahat. Dan Nola secara tidak sadar, tidak memperhitungkan itu.

Mengacuhkan diri sendiri bukanlah pilihan yang terbaik. Ambisi yang baik adalah yang masih memikirkan kesehatan jiwa dan raga. Sedang meneruskan ambisi yang tidak baik, hanya akan mendatangkan malapetaka untuk diri sendiri. Seperti rasa kecewa dan tidak menerima diri karena telah gagal.

Untungnya, meski kecewa pada diri sendiri, Nola masih mau menilai itu bukan suatu kegagalan. Ia masih bisa melihat pintu lain yang masih terbuka untuknya. Dan dengan cepat memilih pintu itu untuk menggapai keinginan.

Ketukan di pintu membuyarkan wajah pias Nola di depan cermin. Buru-buru meletakkan kebaya ke atas kasur dan menyambut seseorang di depan pintu kamar.

Moira datang bersamaan dengan perias. Perempuan itu menyewa perias untuk mereka berdua.

"Saya makeup yang biasa aja, Kak. Yang harganya paling bawah," ucap Nola sebelum perias melingkarkan cape di tubuh gadis itu.

"Oh, iya, Kak. Yang paling bawah, berarti yang dua ratus lima puluh ribu, ya, Kak."

"Gak! Samakan aja sama saya, Kak. Yang paling tinggi. Berapa kemarin? Empat ratus lima puluh ribu, ya?" potong Moira cepat.

Perias itu segera mengiyakan. Dan Nola yang mendebat, akhirnya pasrah ketika Moira menuduh gadis itu tidak mau memberikan yang terbaik di hari bahagianya.

Selagi Nola di rias, Moira memasang kuku palsu. Seperangkat alat nail art dibawanya ke rumah Nola. Yang membantunya tentu saja Tory yang datang tidak lama setelah kedatangannya.

Laki-laki itu meski menolak karena tidak tahu menahu urusan perempuan, akhirnya pasrah juga menuruti permintaan Moira setelah dituduhnya hal yang sama seperti tuduhan yang dilayangkannya ke Nola.

Memasangkan kuku palsu di jemari Moira dengan hati-hati. Tawa mereka berceceran di mana-mana. Perias pun ikut menertawakan tingkah keduanya. Sementara Nola hanya bisa mengulum tawa, sebab wajahnya masih menjadi kanvas bagi sang perias.

Tepat pukul enam, semua sudah siap. Keduanya memamerkan di depan papa dan Tory yang duduk di sofa ruang keluarga. Riasan yang natural, rambut di sanggul rendah, kebaya merah kutu baru dengan detail kancing yang dipadukan dengan rok batik, terakhir high heels model strap berwarna emas. Paripurna sudah kecantikan Nola dan Moira. Mereka berpose bak seorang model. Apalagi Moira, yang memilih lipstik merah menyala. Semakin menggoda di mata Tory.

Papa dan Tory tidak bisa berkata-kata. Mereka begitu takjub dengan mata yang tidak ingin berpaling dari keduanya. Bahkan sang perias pun menjadikan mereka model dadakan. Berpose di ruang tamu dan teras dengan bantuan papa dan Tory yang menyiapkan properti foto.

Setelah berpuas-puas dengan hasil riasan, mereka menuju sebuah hotel bintang lima. Baik Nola atau pun Tory, mereka sepakat untuk tidak bertanya di mana mama Moira. Karena sejak awal, perempuan itu tidak pernah menceritakan seluk beluk keluarganya. Juga, lebih memilih untuk nongkrong di rumah Nola atau Tory, atau bahkan di kafe 0A daripada harus di rumahnya.

Tory sendiri yang pernah tidur di kos sebelah rumah Moira, tidak pernah melihat tampak dalam rumah besar tersebut.

Pagi ini Tory yang mengendarai mobil Moira. Mereka sampai di hotel dalam kurun waktu hanya lima belas menit. Yang biasanya ada rem mulut dari keduanya, kini seakan tidak ada yang peduli dengan kecepatan yang Tory bawa.

Nola dan Moira asyik berswafoto di kursi belakang. Tory berlagak sopir ojek mobil ketika mempersilakan keduanya untuk turun. Tawa mereka pun pecah.

Bertiga berjalan menuju area ballroom di lantai dasar. Tanpa undangan, Moira membawa masuk Nola dan Tory dengan santai. Melewati panitia yang bertugas menjaga buku kehadiran. Usai mengisi nama, Moira meminta dua kotak snack tambahan. Tidak ada berani menolak permintaan tersebut.









Dosa Nola di Kampus Ganas [TAMAT]Where stories live. Discover now