Bab 49

73 3 0
                                    

"Bantuan datang," seru Moira heboh sendiri.

Ia menggandeng Tory, berjalan mendatangi papa. Meminta pekerjaan. Sementara Nola masih mematung. Menatap ke sekeliling kafe. Banyaknya mantan rekan kerja papa, membuat Nola tidak bisa berkata-kata.

Begitu juga dengan mantan klien yang pernah dibantu papa menyuplai berbagai furnitur untuk kantor, toko, atau kafe mereka. Seingat Nola, tidak ada yang kecewa dengan kerja papa. Namun, gadis itu tidak menyangka jika semuanya se-ringan tangan itu.

Sebagai sales, papa adalah orang yang sangat menjaga komunikasi. Sering bersilaturahmi, sekalipun klien itu tergolong klien lama. Keramahan papa tidak pernah membedakan golongan waktu. Semua dikerjakan dengan senang hati tanpa mengeluh.

Namun, sampai pada saat di PHK. Mungkin itu adalah masa bagi papa sulit menerima kenyataan. Pada nyatanya, bila berganti bos, maka kebijakan bahkan peraturan ikut berubah. Posisi papa digantikan oleh seorang laki-laki yang baru wisuda beberapa hari sebelum masuk kantor.

Papa ingin sekali kecewa, tetapi kehadiran Nola dan mama membuat papa lebih fokus pada solusi. Mencari jalan keluar agar kehidupan anak istrinya bisa tercukupi.

Dan semesta membuktikan bahwa kinerja papa memanglah baik. Papa pantas mendapatkan bala bantuan ini.

Tak terasa air mata meleleh di pipi kuning langsat Nola. Segera berbalik badan menyapu hingga tidak ada jejak yang tampak, sebelum ada yang melihat. Lalu menekan kuat-kuat perasaan terharu yang bercampur bahagia itu.

Langkah kaki membawanya ke teras kafe. Menebar senyum serta ucapan terima kasih apabila tatapan mata bertemu dengan orang lain yang sedang bekerja untuk kafe. Begitu pula bila berpapasan, ada beberapa orang yang masih diingatnya. Orang-orang yang dulu pernah berkunjung ke rumah.

Meski tidak tahu tampilan kafe akan seperti apa, yang jelas euforia kesenangan sudah mulai bisa dihirup dalam-dalam. Merasa tidak enak dengan semangat Moira dan Tory, Nola segera membantu mereka.

"Eh, Nola, Nola, kamu enggak usah bantu-bantu di sini. Kamu pergi ke toko om Rizal, pilih furnitur yang pas untuk kafe kita nanti. Ah, Kavi, Kavi, sini sebentar. Kamu tolong temani Nola belanja furnitur, ya. Nola tahu tempatnya. Ingat, kan, La? Itu toko om Rizal yang dulu di dalam gang. Nah, sekarang pindah ke depan. Pinggir jalan raya. Tokonya besar, nama tokonya Pijar Dekorasi," kata papa menghentikan tangan Nola yang baru mengangkat palu.

"Tahu, nih! Sok-sok mau bantu. Kamu pilih furnitur aja. Sama Kavi," ada penekanan di akhir kalimat ketika Tory mengucapkannya.

Nola memelototi, tetapi laki-laki itu justru tertawa. Dan mata yang tengah melotot itu harus kembali normal karena papa memburunya untuk cepat berangkat.

Setibanya di toko Pijar Dekorasi, mata Nola langsung terpaku melihat pajangan di balik kaca. Membuatnya mengiler dengan semua barang-barang dekorasi yang dipajang. Tidak lupa sebelum masuk ke toko, membaca doa meminta dikuatkan iman agar tidak belanja di luar daftar yang diberi papa.

Sembari memilih-milih, kertas catatan dari papa tidak lepas dari genggaman. Setiap melihat yang unik, mata Nola selalu menutup. Melanjutkan langkah perlahan sampai melewatinya. Namun, usaha tersebut sia-sia. Sebab terlalu banyak, bahkan hampir semua unik-unik.

Alhasil, gadis itu meminta seorang karyawan toko untuk mengawal. Jadi, ketika ia menyebutkan kursi, meja, lampu, dan lainnya, karyawan toko langsung mengarahkan ke bagian barang yang dimaksud.

Selama di perjalanan menuju kemari, Nola sudah mempertimbangkan konsep kafe. Ia ingin sesuatu yang beda, unik, dan belum ada di kota ini. Kalaupun ada yang mengikuti konsepnya, maka ia akan bangga karena telah menjadi pelopor.

Tidak ada perbedaan pendapat antara Kavi dan Nola. Sebab Kavi hanya diam mengekor. Gadis itu tidak mau meminta pendapat Kavi. Dan dosen itu pun sadar diri.

Hampir tiga jam berlalu, Kavi yang sudah bolak-balik keluar kafe untuk merokok, akhirnya bisa bernapas lega ketika melihat setruk pembelian sudah di tangan Nola. Asuransi yang mengkaver kafe telah melunasi janji. Bukan hanya sekadar janji manis. Dan itu membuat papa serta pihak asuransi kembali menandatangani surat perjanjian yang sama untuk kedua kalinya.

"Makan dulu gak?" tanya Kavi di jalan pulang.

Nola menggeleng, tetapi mengusulkan membeli nasi bungkus saja untuk orang-orang yang membantu papa di kafe.

Mereka pun menuju salah satu jalan tengah kota yang hampir macet setiap saatnya. Bukan karena ibu kota, tetapi di sepanjang jalan itu berjejer para penjual yang enggan memikirkan masalah parkir untuk pelanggannya.

Kavi pun harus memarkir mobilnya jauh dari warung. Di mana ada lahan kosong yang muat untuk mobilnya, itu pun kaca spion kiri harus dilipat. Berjalan sedikit jauh menuju warung yang terkenal akan sambal lalapnya yang mantap dan kangkung gorengnya.

Tanpa mau berpikir, Nola memesan tiga puluh bungkus. Lengkap dengan es teh dan kerupuk. Ia juga membeli bakpao kota tepian ketika penjualnya harus menghentikan motor karena macet.

Setelah menunggu cukup lama, akhirnya mereka bisa mendinginkan diri di dalam mobil. Aroma sambal menguar bersama dinginnya AC. Membuat perut meronta ingin segera melahap.

Sengaja Kavi menyetel radio yang merupakan satu-satunya penyumbang suara dalam mobil. Lantunan lagu yang di putar secara acak, membuat pikiran mereka menjadi masing-masing.

Setibanya di kafe, Kavi dan Nola yang membawa bungkusan nasi mendapat sorakan heboh dari Moira dan Tory yang sedang menyeruput es di dalam plastik gula yang diberi sedotan. Sedang tangan kanan mereka memegang sebuah lidi yang berisi pentol rebus dan cireng.

Dua orang itu segera membayar sepuluh ribu kepada penjual es dan pentol yang sengaja mangkal di deretan ruko. Lalu lomba lari menuju kafe.

Masing-masing orang sudah mendapat sebungkus nasi dan es teh. Moira dan Tory ikut mengambil dan langsung duduk di sudut teras untuk menikmati. Nola dan Kavi menyusul lima menit kemudian.

"Mau ke mana?" tanya Nola pada Moira yang berdiri ketika ia baru duduk.

Sambil menahan pedas, Moira hanya melambaikan tangan. Mata Nola mengikuti. Ia curiga Moira keberatan dengan kehadiran Kavi. Namun, ternyata perempuan itu mengambil sebungkus nasi lagi yang belum bertuan. Berikut es teh.

Mengetahui itu, Tory setengah berteriak meminta Moira membawakan sebungkus untuknya.

"Perut karet," canda Kavi setelah menyuap beberapa suapan.

"Kerja berat kita," sahut Tory sebelum menyedot sisa-sisa es teh dalam gelas plastik bertutup.

Moira kembali dengan dua porsi tambahan, ia mengambil duduk di antara Tory dan Nola. Bukan tempat duduk asalnya. Sejujurnya Nola pun enggan duduk bersisian dengan Kavi. Namun, nasi bungkus lauk ayam goreng yang dihiasi sambal terasi, kangkung goreng dan kerupuk mampu menekan rasa keengganannya.

Tiba-tiba datang seorang laki-laki seusia papa. Kehadirannya disambut papa yang sudah menuntaskan sebungkus nasi dan es teh tawar yang sengaja dipesan Nola untuknya.

Basa-basi ringan dengan lancar mengawali perbincangan dua orang itu. Sesekali Nola melirik, benaknya seakan mengingat sesuatu tentang orang tersebut.

"Jadi kapan rencana kerja di KBB? Jangan lupa hubungi aku." Secarik kalimat yang terbawa angin, hinggap di telinga Nola.

KBB? Kalimantan Baru Bara?







Dosa Nola di Kampus Ganas [TAMAT]Où les histoires vivent. Découvrez maintenant