Bab 10

189 29 0
                                    

"Kamu dosennya Nola, kan?" Ingatan papa memang tidak bisa diragukan.

"Iya, saya dosen -"

Nola melempar senyum ke papa sebelum mendorong-dorong Kavi keluar. Karena tidak berniat pergi, laki-laki itu bertahan sekuat tenaga. Membuat dorongan Nola tidak berpengaruh sedikit pun.

"Keluar," desis Nola di telinga Kavi.

Sayangnya laki-laki yang masih mengenakan pakaian seperti terakhir mereka bertemu di kampus itu hanya menggeleng. Untuk kemudian tersenyum manis ke arah papa.

"Sakit apa, Om?" Lontaran pertanyaan Kavi membuat Nola otomatis mengerahkan tenaga dalam, yang ternyata berhasil membuat Kavi merapat ke pintu.

Meski dengan langkah tersendat-sendat, tetapi Nola berhasil membawa Kavi keluar dari kamar inap papa.

"Ngapain kamu ke sini?" tanya Nola dengan napas terengah-engah.

Ia merentangkan kedua tangan di permukaan pintu, agar dosen itu tidak bisa masuk kembali.

Mendengar pertanyaan Nola, Kavi malah bertanya balik mengapa gadis itu tidak ikut mata kuliahnya tadi. Dan itu sontak membuat Nola tertunduk membisu dengan kedua tangan saling meremas.

"Saya mau lapor papa kamu," ucap Kavi yang langsung mengarahkan tangannya ke pintu.

Sebelum ia berhasil memutar gagang pintu, Nola lebih dulu menangkap tangan yang dihiasi jam bermerek terkenal itu. Gelengan serta sorot mata kucing dari Nola berhasil mengurungkan niat Kavi.

Sebagai gantinya, ia mau mendengar alasan Nola. Mereka pun memilih kantin rumah sakit sebagai tempat untuk berbicara.

Nola mengekor dengan langkah lambat. Otaknya tiba-tiba membeku, tidak tahu harus mengatakan apa. Seandainya jujur, masalahnya dengan Moira akan semakin meradang. Kalau tidak jujur pun, Kavi akan menghujaninya dengan tugas-tugas yang teramat banyak.

Bagaimana ini?

Setelah turun menggunakan lift, mereka tiba di kantin yang berada di luar gedung kamar rawat inap. Suasana kantin tergolong ramai, banyak perawat dan juga pengunjung. Beberapa penjual terlihat kewalahan melayani orang-orang lapar.

Kavi menawari Nola macam-macam menu yang terpampang di etalase para penjual. Namun, gadis itu hanya menggeleng. Dan semakin menggeleng ketika ditawari bakso. Makanan terakhir yang Nola makan sebelum kepergian mama. Kenangan buruk bersama bakso itu sepertinya akan abadi dalam benaknya.

"Saya yang bayar," ucap Kavi pada akhirnya.

"Saya gak lapar," sahut Nola yang menarik salah satu kursi kosong.

Akhirnya Kavi hanya memesan secangkir kopi panas dan es jeruk. Lalu duduk di depan Nola. Dengan kedua tangan yang bertumpu di meja menopang dagu, tatapan tajam itu menusuk iris coklat Nola.

Sebisa mungkin Nola mengalihkan tatapan, untungnya banyak pilihan di sekeliling untuk bisa ditatap bergantian.

Setelah pesanan datang, Kavi mulai meluncurkan pertanyaan pertama. Nola hanya melongo, sebenarnya percuma saja berlagak budek, suara Kavi cukup jelas menembus riuhnya suara pengunjung kantin.

"Saya kepikiran papa. Kalau saya masuk kelas juga percuma, soalnya gak bakal konsentrasi." Tidak ada jalan lain selain berbohong.

Biarlah sudah dihujani tugas, daripada hujatan.

Kavi menyeruput kopi panas. Lalu menanyai Nola tingkat kemanisan es jeruk yang sedang disedot gadis itu. Nola yang merasa manisnya pas, lantas menjawab jujur.

Laki-laki itu pun memesan segelas es jeruk yang sama seperti Nola. Sedangkan cangkir kopi disingkirkannya. Ia menatap Nola yang tengah menatap cangkir kopi tersebut.

"Kamu mau tanya kenapa, kan? Nih, kopi saya pahit, dengar kebohongan kamu tambah pahit. Gak enak."

Nola menggigit bibir bawah bertepatan dengan kehadiran Tory yang menepuk sedikit keras pundak Nola, kemudian melayangkan tos kepada Kavi. Seperti seorang kerabat yang lama tidak bertemu.

Alis Nola mengernyit. Ia mencoba bertanya kepada Tory dengan isyarat gerakan bibir tanpa suara. Di luar dugaan, malah Kavi yang menjawab.

Ternyata Tory yang memberitahu Kavi, makanya Nola menunggu lama di basemen kampus sebelum ke rumah sakit.

Nola mencoba menarik dan mengembuskan napas dengan mata terpejam, semoga emosinya bisa ditangkis. Namun, kenyataannya tidak. Ingin sekali marah kepada Tory. Apalagi saat Tory menceritakan tentang dirinya yang dikerjai Moira. Yang menyebabkan tidak bisa masuk saat mata kuliah Kavi.

Menendang tulang kering kaki, memelotot, batuk-batuk, sudah dilakukan Nola kepada Tory, tetapi mulut sahabatnya itu los tidak ada remnya.

Saat itu juga Nola ingin menghilang dari hadapan Kavi. Namun, apa daya ia bukan siluman. Alhasil hanya mampu menyembunyikan wajahnya di balik kedua telapak tangan.

Setelah dirasa cukup, Kavi pamit dengan amarah yang terbaca dari wajahnya. Membuat Nola bergegas menyusul laki-laki itu dan menarik tangannya sebelum terlalu jauh melangkah.

"Tolong jangan temui Moira," pinta Nola.

"Kamu cemburu?"

"Eh, bukan. Bukan itu maksud saya. Tolong jangan campuri urusan Moira dan saya," jawab Nola.

"Kita lihat saja nanti."

Mampus!

***

Di bawah lagu Katakanlah Cinta dari Naura yang menjadi playlist malam ini di kafe, Nola berjalan membawa nampan berisi segelas vanila latte dan sepiring potatoes wedges menuju meja nomor sepuluh. Ramainya suasana kafe, tentu tidak menenggelamkan suara merdu Naura, membuat gadis yang mengenakan apron hitam itu ikut bersenandung dalam hati.

Nola melewati meja-meja yang dipenuhi remaja, remaja - dewasa melepas penatnya dengan tertawa bersama kawan. Jika diingat saat pertama kali kafe buka, pemandangan seperti ini sungguh di luar dugaan. Bahkan tidak pernah terlintas.

Nola tiba di meja nomor sepuluh, mendaratkan nampan ke atas meja, tiba-tiba ada yang memegang tangannya yang masih menggenggam pinggiran nampan. Sontak ia menoleh dan membuang napas gusar.

"Duduk," ucap laki-laki yang tidak lain adalah Kavi.

Nola duduk setelah meletakkan piring dan gelas ke atas meja, lalu menyimpulkan nampannya ke kursi di samping. Bulir keringat sebesar biji jagung mulai tampak, meski rambutnya yang panjang digulung ke atas dan bando menyimpan rapi poni.

Hari ini adalah hari kedua Nola tidak masuk kuliah. Padahal ada ujian praktikum yang harus diikuti. Mungkinkah Kavi datang karena itu?

"Saya belum bayar uang praktikum," ucap Nola lebih dulu sebelum mendengar ceramah Kavi.

Dan ternyata sama saja, Kavi tetap berceramah. Ada hawa kekecewaan yang tercium di setiap kalimatnya. Membuat gadis di hadapannya hanya bisa menunduk pasrah mendengarkan.

"Besok datang ke kampus. Temui saya," ucap Kavi seraya meletakkan uang lima puluh ribu di atas meja.

Ia berdiri dan langsung melangkah tanpa pamit. Nola mengangkat wajah dan tidak mendapati Kavi, hanya ada uang di atas meja. Buru-buru ia mengejar Kavi yang untungnya masih berada di depan ruko tengah memasang helmnya.

"Untuk apa semua ini? Saya tidak mau dikasihani. Saya bisa sendiri," ucap Nola dengan bibir bergetar menahan emosi.


"Kamu harusnya gak perlu cariin aku. Mau aku gak masuk mata kuliahmu kek, mau aku gak bayar uang praktikum kek, atau bahkan kalau aku mau berhenti kuliah, itu bukan urusanmu," lanjutnya yang kini mengepalkan kedua tangan di sisi.








Dosa Nola di Kampus Ganas [TAMAT]Where stories live. Discover now