01. Divine Dragon

17 1 0
                                    


"Koak."

Sekumpulan burung gagak mengepak-kepakkan sayap di angkasa. Seekor burung gagak turun dan mendarat di atas sebuah gundukan, diikuti oleh anggota kawanannya yang lain. Makhluk itu membersihkan bulu hitam bergradasi ungunya dengan seksama, lalu memperhatikan kawanan sambil mengerjapkan mata.

"Koak."

Satu ekor membuka mulut. Satu ekor lagi menyahuti. Tak lama, seluruh kawanan yang terdiri dari seratusan ekor gagak itu berkoak-koak bersaman, menciptakan keributan di tengah hutan. Suara mereka terus menggema di hutan yang sepi, sampai sebuah suara geraman menghentikan koakan mereka.

Suara itu terdengar menggema, menggetarkan pepohonan dan membisukan para burung gagak. Sekian menit berlalu, suara geraman itu tidak lagi terdengar. Merasa suasana sudah aman, seekor burung gagak berkoak lagi.

"Grrr," seakan menjawab koakan sang burung, suara geraman itu terdengar lebih keras. Di saat yang bersamaan, gundukan raksasa yang dihinggapi kawanan gagak itu bergetar, membuat para gagak itu berkoak-koak panik sambil terbang pergi.

Tanah dan tanaman merambat yang tumbuh di atas gundukan itu perlahan jatuh, menampakkan sosok sesungguhnya. Seekor reptil raksasa berkaki empat, dengan tubuh yang ditutupi sisik berwarna hitam. Tonjolan tulang tumpul menggaris di punggungnya, dihiasi beberapa lapisan bulu hitam bak burung gagak. Ekornya yang panjang mengibas pelan, menggoyangkan pepohonan di sekitarnya. Sepasang sayap kulit keabuan terbentang lebar, lalu mengepak sekali seakan tengah meregangkan otot otot kuat di dalamnya. Dua tanduk melengkung berkilauan di bawah cahaya matahari, melindungi sepasang mata keemasan yang mengerjap kesal. Rahangnya terbuka, menampakkan deretan gigi geligi tajam yang konon mampu mengoyak apapun.

Naga raksasa itu berpaling, menekuk leher panjangnya untuk memandangi kerumunan gagak yang kini hinggap di pepohonan. "Selamat pagi juga, dasar makhluk-makhluk kecil berisik," geraman sang naga menggema di hutan, namun tidak membuat seekorpun gagak bergeming.

"Koak," salah seekor gagak bersuara sekali lagi. Sang naga mengernyitkan dahi dan meniupkan angin kecil dari mulutnya. Gagak itu berkoak sekali dan terbang pergi, diikuti oleh kawanannya. Sepasang mata kuning keemasan mengikuti arah mereka terbang.

"Ugh, tubuhku kaku. Sepertinya aku sudah tidur terlalu lama," geram sang naga. Dikepakkannya kedua sayapnya, mengecek udara dan kekuatannya sendiri. Setelah yakin bahwa tubuhnya sudah cukup terbangun, ia menggoyangkan tubuhnya sekali, membersihkan diri dari sisa tanah, dan lepas landas.

Naga itu terbang ke cakrawala sembari menikmati pemandangan hutan. Tidak banyak berubah semenjak sebelum ia jatuh tertidur. Pandangannya teralihkan dari jejeran pepohonan di bawahnya. Sebatang pohon raksasa berdiri di ufuk utara, menjulang mencapai langit. Sebuah pemandangan aneh, terutama karena hutan yang luas mengelilinginya pun tidak mencapai tinggi akarnya.

Tak butuh waktu lama sampai sang naga mencapai pohon itu. Bahkan dengan ukurannya yang bisa disebut luar biasa besar -mencapai tinggi 20 meter- dia hanyalah sebesar akar terkecil dari pohon raksasa itu. Sang naga mendengus kala terbang mengitari pohon. Ia berhenti ketika mencapai sebuah lubang di dasar pohon.

Ia memasukkan kepalanya kedalam lubang, menilai-nilai. Sinar matahari yang menembus retakan-retakan pada batang pohon itu menciptakan suasana magis yang mengundang sang naga untuk masuk lebih dalam. Baru beberapa langkah ia berjalan, titik-titik cahaya kecil mengelilinginya. Mereka melompat lompat tidak tentu arah, kegirangan untuk bertemu kembali dengan sang naga.

"Shin! Shin!"

Cuitan melengking memenuhi gendang telinganya. Naga itu tersenyum kecil dan menghembuskan udara dari mulutnya. "Selamat pagi, sprites."

Thus The Divine Dragon Shed Her ScalesWo Geschichten leben. Entdecke jetzt