19. Home

3 0 0
                                    


Yggdrasil, sang pohon kehidupan, pohon yang menyangga kesembilan dunia buatan The True One, hari itu terlihat sangat hidup. Liz menyentuh batang kecoklatannya, seketika merasakan kebahagiaan yang meluap-luap dari pohon itu. Meskipun Yggdrasil tak terlihat jauh berbeda dari pohon lainnya, ia adalah makhluk hidup yang memiliki sihir besar. Yggdrassil mampu menampakkan kebahagiaan, kesedihan, dan berbagai emosi lain yang seharusnya hanya bisa dirasakan oleh makhluk yang berakal.

"Lizzie, ada apa?" seorang sprite melayang mendekati Liz yang termenung.

Sang wanita cahaya tersenyum. "Sudah lama aku tidak merasakan Yggdrasil sebahagia ini. Aku tidak bisa tidak merasa senang atas kebahagiaan Yggdrasil, Kyle."

"Sungguh?" Pete berputar riang mengitari kepala Liz. "Kyle juga senang. Kami senang! Sudah lama sekali! Lama sekali! Semenjak Shinra... Shinra pergi.."

Pandangan Liz jatuh. Pete juga tampak murung, kepakan sayap kecilnya tidak seriuh tadi. "Pete merindukan Shinra."

"Aku juga Pete," ujar Liz. Ia melepaskan sentuhannya pada batang Yggdrasil, tak mau mempengaruhi suasana hati pohon itu dengan suasana hatinya sendiri.

Sudah hampir dua bulan semenjak Shinra meninggalkan Afer untuk memenuhi panggilan Heimdall. Sejak saat itu pulalah, sang naga tak pernah kembali. Kabar terakhir yang Liz dengar adalah bahwa Master-nya itu diasingkan ke Alfheim. Liz tidak tahu pasti kenapa Shinra tiba-tiba dihukum. Ia tidak berani memercayai kabar simpang siur yang dibawa oleh berbagai macam dewa.

Kepergian Shinra membuat semuanya berduka, termasuk Yggdrasil. Pohon itu tampak muram, dedaunannya melayu. Cahaya yang biasanya cerah memasuki rongga batangnya terlihat lebih suram. Kondisi itu tidak juga berubah bahkan setelah Loki datang. Pria itu ditugaskan untuk menjaga Afer selama Shinra pergi. Tak ada penduduk Afer yang menyukai Loki, terutama karena awan mendung yang senantiasa menutupi hatinya.

Liz sudah berniat untuk kembali ke area pribadinya, nyaris menyatukan tubuhnya dengan permukaan telaga dimensi saat mendengar keributan besar yang dibuat oleh para sprite. Jutaan makhluk kecil itu berterbangan tak tentu arah, beberapa menabrak satu sama lain. Liz menangkap salah satu sprite yang melesat tepat di depan wajahnya.

"Esla! Apa yang terjadi? Kenapa kalian tiba-tiba seperti ini?"

Sprite kecil di genggaman Liz terlihat sangat gelisah. "D-datang.."

"Siapa yang datang?"

Esla sudah tidak mampu menjawab dengan kalimat lengkap. Ia terbang melepaskan diri dari cengkeraman Liz, bergabung bersama dengan saudara-saudaranya terbang berputar-putar di penjuru Yggdrasil. Liz mengerang.

"Oh, ayolah, teman-teman! Tidak adakah yang mau memberitahuku siapa yang..—"

Ucapan Liz terhenti saat matanya tidak sengaja melihat ke celah di batang Yggdrasil. Sebuah bayangan hitam besar melayang di udara, bergerak dengan kecepatan tinggi menuju ke arahnya. Liz terburu-buru menuju lubang terbesar di batang Yggdrasil, memaksakan tubuhnya untuk melawan ikatan terhadap permukaan telaga. Saat ia tak bisa lagi bergerak, ia sudah bisa mengenali bayangan hitam itu dengan sangat jelasnya.

"T-Tidak mungkin.."

Sisik hitam yang sangat familiar menyambut pandangan Liz. Sepasang tanduk melengkung yang membayangi mata ular keemasan, helaian bulu-bulu hitam yang berjajar rapi di sepanjang tulang punggung, cakar kuat berkuku tajam, bentangan sayap lebar di sisi kiri dan kanannya, serta api abadi yang terbakar di ujung ekornya, Liz mengenali semua itu.

"ROAAAARRRR!!!"

Raungan itu, Liz tidak mungkin salah mengingat. Hanya ada satu makhluk di dunia ini yang memiliki suara sekeras itu. Liz merasakan matanya berkaca saat mata makhluk itu menemui tatapannya.

Thus The Divine Dragon Shed Her ScalesOnde histórias criam vida. Descubra agora