07. Grand Capital

2 0 0
                                    


TANG! TANG!

Dentam besi ditempa bergema nyaring di sebuah ruangan sempit bersuhu tinggi. Perapian yang menari-nari menerangi sudut-sudut ruangan, sekaligus menyebarkan hawa panas yang terperangkap di tempat minim ventilasi ini. Lempengan logam berserakan, beberapa masih tampak asli dan beberapa sudah membentuk macam-macam rupa.

Di tengah ruangan, Shinra duduk menghadapi sebuah lempengan logam yang membara. Tangan kanannya berulang kali mengayunkan palu baja, membentuk logam membara di tangan kirinya menjadi pipih menyerupai bilah pedang. Keringat membanjiri tubuhnya meskipun hanya dibalut kaus tanpa lengan longgar berwarna hitam. Celana pendek selututnya juga lembab oleh keringat.

Sesekali, Shinra menyeka keringat yang memasuki matanya dan membenahi bandana yang ia kenakan. Kain putih itu menahan rambutnya ke belakang, menampakkan sepasang iris berbeda warna miliknya. Shinra dengan giat menempa logam di hadapannya. Setelah merasa barang ciptaannya sudah cukup berbentuk, Shinra mencelupkan bilah logam itu ke ember berisi air di sampingnya.

Shinra memutar-mutar bilah logam itu di hadapannya, mencari kesalahan sekecil apapun. Saat tidak menemukan adanya kekurangan, ia tersenyum puas dan meletakkan bilah itu ke rak penyangga di bawah anak tangga. Tepat saat ia berbalik, sebuah pintu di langit-langit terbuka, menampakkan wajah seorang pria tua yang ramah.

"Hei, nak. Sudah sore, kau tidak mau pulang? Nanti Elise kebingungan mencarimu lagi," tanyanya.

Shinra tersenyum dan melambai. "Aku akan naik sebentar lagi, Tuan Waschke. Anda duluan saja," jawab Shinra.

Waschke mengangguk lalu beranjak pergi, tetap membiarkan pintu langit-langit terbuka lebar.

Shinra membereskan peralatan kerjanya. Menata lempengan-lempengan logam serta beberapa palu tempa kembali ke tempatnya. Setelah merasa semuanya telah dirapihkan, Shinra menyambar selembar handuk di atas perapian dan menyeka keringatnya sambil melangkah menaiki tangga.

Pintu langit-langit yang terbuka lebar membawanya ke sebuah ruangan yang dipenuhi berbagai macam senjata. Beberapa kotak kayu berserakan di lantai, sebagian terisi penuh dan sebagian lagi masih terbuka lebar. Shinra melangkah hati-hati agar tak merusak benda-benda itu. Waschke rupanya telah menunggu sambil menyandar di kusen pintu.

Pria itu tersenyum saat melihat Shinra mendekatinya. Ia mengoperkan sebuah tas selempang berisi barang pribadi Shinra. "Terima kasih untuk hari ini, nak. Hati-hati di jalan."

"Terima kasih, tuan," jawab Shinra seraya menerima operan Waschke. Tapi ia tak beranjak pergi, melainkan mengalihkan pandangannya ke arah kotak-kotak kayu berisi senjata di belakangnya. "Bagaimana dengan pesanan untuk besok? Aku bisa tinggal lebih lama untuk membantu anda berkemas."

"Hahaha, tidak usah," Waschke mengibaskan tangannya. "Hanya tinggal mengepak beberapa, kok. Kau pulang saja. Besok, 'kan, kau yang pergi ke grand capital untuk mengantarkan pesanan ini. Istirahatlah, kalau tidak besok kau bisa kelelahan."

Memutuskan untuk mengalah pada atasannya, Shinra mengiyakan perintah Waschke dan berlalu pergi. Ia menyambar jaketnya yang tersampir di meja kasir sambil berseru pamit. Waschke melambaikan tangannya sampai pegawainya itu menghilang di balik pintu.

Shinra menyempatkan diri untuk memperhatikan bagian luar toko sebelum pulang. Toko yang sama dengan toko yang pertama kali ia singgahi saat tiba di Sylvwyre, sebulan yang lalu. Firesmith, toko senjata milik Waschke, pria pandai besi yang menerimanya sebagai seorang murid.

Waschke memang pria baik. Ia selalu sabar mengajari Shinra cara membuat senjata yang kuat namun juga indah dipandang. Maka tak heran kalau senjata tempaannya dipesan dari berbagai penjuru Alfheim. Bahkan para penjaga elit kaisar menggunakan senjata buatan Waschke.

Thus The Divine Dragon Shed Her ScalesWhere stories live. Discover now