13.

734 142 8
                                    

"Gue juga nggak ngasih kabar ke dia, sama kayak ke kalian."

Ucapan Rayhan terdengar getir. Gue bisa merasakan angin yang berembus lebih dingin dari biasanya, membelai tengkuk hingga bulu kuduk gue berdiri. Dingin itu merasap dan merasuk ke dalam hati, jas Yiraga yang menutupi paha gue seolah tak berarti banyak. keberadaan Yiraga di samping gue yang biasanya terasa begitu hangat, menenangkan dan menyenangkan kini tak lagi terasa.

"Serius lo?" Yiraga tak menyembunyikan keterkejutannya. Rayhan mengangguk lemas, bibirnya dipaksa untuk melengkungkan senyum dan mengangguk. "Lo seenggaknya harus temui dan jelasin semuanya bukan?" usul Yiraga.

Entah apa yang gue rasakan saat ini benar atau tidak, gue lega Rayhan tidak terang-terangan mengekspos hubungan kami di masa lalu di hadapan Yiraga. Tapi di saat yang bersamaan gue merasa ada yang salah, tidak ada kata perpisahan kala Rayhan meninggalkan gue tanpa kabar dulu membuat semua terasa mengganjal.

Lo udah punya calon suami Brigita! Gue meyakinkan diri berulang kali. Jika Yiraga mengetahui hal ini pasti situasi akan merumit. Batin gue bertanya-tanya apa Yiraga masih akan mengusulkan demikian kalau dia tahu ternyata gue adalah orang yang Rayhan maksudkan.

"Git, hei kamu ngelamun?" Yiraga melambaikan tangan di depan wajah, membuat gue terkejut. Nampaknya gue terlalu tenggelam dengan isi pikiran gue sendiri sehingga tak merisaukan kelanjutan percakapan yang lainnya.

"Ya, Yi? Ada apa?" Gue merespon dan melihat sekitaran. Khairi terlihat cuek dan memandang buku menu di tangannya, Rayhan masih menatap gue dengan intens, dan Affan memerhatikan dalam diam dengan sudut matanya.

"Kita pesen makanannya sekarang, kamu mau apa?" tanya Yiraga. Ia menjulurkan buku menu yang langsung gue terima. Gue hanya membolak-balik menu tanpa mengetahui apa yang harus dipesan, nafsu makan sudah menguap entah ke mana. Affan, Khairi, Rayhan dan Yiraga nampaknya sudah selesai memilih menu mereka. "Kamu jadinya pesen apa?"

"Caesar salad sama mushroom soup aja Yi."

Yiraga menganggukkan kepala dan mengulang pesanan gue pada seorang waitress.

"Minumnya mau nambah?" tawar Yiraga.

"Air mineral," jawab gue kemudian.

Selesai memesan, mereka kembali terlibat dalam percakapan singkat, sementara gue merenung memikirkan kelanjutan dari serangkaian kejadian yang terjadi hari ini. "Yi, aku ke toilet dulu ya," pamit gue kemudian. Mencuci muka untuk menyegarkan diri sepertinya bukan opsi yang buruk, siapa tahu gue bisa menjadi lebih baik setelahnya, dan otak gue menjadi segar.

"Toiletnya di mana? Boleh ikut?" Suara dari Rayhan membuat gue kesulitan menelan saliva. Seharusnya ini menjadi kesempatan gue untuk menghindar, tapi sepertinya Rayhan malah membuat kesempatan ini menjadi peluang.

"Ah, iya boleh, silakan lewat sini." Pada akhirnya gue hanya bisa menyetujui dan mempersilakan rayhan untuk mengekor. Penolakan yang keras tentu akan menjadi keanehan di mata Yiraga, bersikap senormal mungkin adalah prioritas utama.

Sejalan dengan langkah yang menjauh, hati gue semakin diliputi kekalutan. Berada di luar jangkauan jarak pandang dan jarak dengar Yiraga membuat gue mengantisipasi tindakan yang akan dilakukan Rayhan berikutnya.

Langkah Rayhan terhenti, gue mencoba tidak mengacuhkannya dan tetap berjalan. "Ada yang mau kamu jelasin?" Suara dari bibir Rayhan membuat langkah gue akhirnya tertahan. Gue tahu dan sadar penjelasan yang dia tuturkan di kafetaria tadi tak hanyalah untuk didengar oleh tiga laki-laki lainnya, melainkan untuk gue juga. Lantas, apakah penjelasan tadi mengubah keadaan? jawabannya tidak. Gue telah memiliki calon suami pilihan gue saat ini, dan Rayhan hanyalah bagian masa lalu yang belum selesai.

Nikah?Where stories live. Discover now