08

4.8K 751 59
                                    

Selama bekerja gue dirundung kegelisahan, benar memang ungkapan kalau perempuan di dalam hubungannya sedang ada permasalahan, hal itu dapat mengganggu produktivitas kerja sedangkan jika laki-laki sebaliknya. Fokus gue menguap tak bersisa, khawatir jikalau Yiraga benar-benar kemari.

Januar yang menyadari kegelisahan gue pun mengambil alih pekerjaan. Sesekali ia menatap gue dengan penuh tanya, namun gue tetap memilih bungkam dan tak menjawab pertanyaan lewat tatapannya itu.

"Brigita?" tegur Januar, kali ini ia memilih buka suara.

"Y-ya? Kenapa Jan?" jawab gue dengan kikuk.

"Ada masalah sama dia?" tanya Januar. Gue tahu dengan pasti siapa dia yang Januar maksudkan, Yiraga. Januar tidak pernah menyebut nama Aga, ia memilih menyebutnya dengan sebutan cowok lo, atau kata ganti dia.

Gue diam, memilih untuk bungkam.

"Apa ini ada kaitannya dengan kejadian kemarin?" tanya Januar kemudian.

"Masalah dalam suatu hubungan itu biasa Jan, dan ini bukan karena yang kemarin kok," kilah gue dengan senyuman sebagai pelengkap, mencoba mengurai sedikit tanda tanya di benaknya.

"Tapi hari ini beda banget," imbuh Januar. Matanya menatap lurus ke mata gue, berusaha menggali lebih dalam.

Gue menggeleng pelan. "I'm okay,"

Januar mangambil tangan gue dan menggenggamnya. "Bohong, gue tau lo nggak baik-baik aja. Muka lo tuh kayak buku, tertera jelas di sana semua emosi yang lo rasain."

"Bu Brigita, ada yang nyari!" Suara nyaring itu terdengar bersamaan dengan suara pintu ruangan yang terbuka.

Dania, sang resepsionis membuka pintu ruangan, di belakangnya Yiraga kini berdiri dengan tegap. Hal itu sontak gue melepaskan genggaman tangan Januar.

Suasana sangat canggung saat Dania mempersilakan Yiraga untuk masuk. Gue menelan ludah gugup.

Yiraga menatap gue dalam, sorot matanya terdapat banyak kilatan emosi. Kantung matanya juga terlihat menghitam dan menebal.

Tanpa banyak kata, Yiraga menggenggam tangan gue dan berkata, "kita bicara di luar."

Dengan patuh gue mengikuti langkahnya, tak ingin menarik perhatian di kantor cabang dengan drama perdebatan bersama sang calon suami.

Yiraga membawa gue ke lahan parkir dan kami berdiri di samping mobilnya.

"Kalau ada yang ingin kamu tanyakan, tentang apa pun itu, akan kujawab," ujar Yiraga membuka gerbang obrolan serius kami.

"Termasuk tentang mantan kamu?" tanya gue yang membuat Yiraga memejamkan matanya dan terlihat frustasi, kemudian ia mengangguk.

"Selama ini kamu selalu menghindari topik itu."

"Aku punya alasan."

"Dan aku punya kekhawatiran tersendiri tentang hal itu," balas gue.

"Maaf...," ujar Aga singkat.

Entah dari mana Januar muncul. Mungkin dia mengikuti saat kami keluar ruangan tadi. "Git, sekarang masih jam kantor."

Tatapan Yiraga berubah menjadi tidak ramah. Gue menggigit bibir gugup, bingung bagaimana keluar dari situasi ini.

Gue menghela napas panjang. "Januar bener, ini jam kantor. Kita bisa diskusi lain kali." Sembari mencoba melepaskan genggaman Yiraga.

"Kita harus menyelesaikan hal ini sekarang." Yiraga bersikukuh, ia kembali menggenggam tangan gue.

Nikah?Where stories live. Discover now