18.

766 166 13
                                    

Seminggu sudah berlalu, tidak kontak yang berarti antara gue dan Yiraga, di dalam group obrolan yang berisi kami berdua dan pihak Wedding Organizer pun Yiraga hanya menyimak dalam diam, pasif tak memberi masukan apapun. Lelah mulai melanda, baik secara fisik maupun batin, ketenangan jiwa yang seharusnya gue dapatkan dari dukungan seorang pasangan dalam mempersiapkan pernikahan ini sama sekali tidak gue dapatkan.

Ingin rasanya berkeluh kesah, bertukar pikiran dan juga berbagi pendapat seperti dulu, namun sepertinya semua itu tidaklah mungkin dalam situasi saat ini.

Selagi Khairi mengambil cuti untuk berbulan madu, Affan mendapuk gue untuk mesupervisi pekerjaan rekan-rekan, beruntung gue jadi memiliki ruang tersendiri saat ini, dan itu cukup memberi jarak dengan rekan-rekan yang lain. Kerap kali gue masih sulit mengendalikan emosi dan menangis dengan tiba-tiba, jika teman-teman melihat gue dengan kondisi seperti ini, maka akan terjadi kegaduhan lainnya. Keterpisahan ruang gue dan rekan-rekan amat membantu untuk menyembunyikan letupan emosi gue yang masih tak stabil.

Pagi ini gue dikejutkan dengan surat pengunduran diri Januar yang ia taruh di meja Khairi, tempat untuk gue bekerja sementara waktu. Surat pengunduran diri itu memberitahu bahwa Januar akan meninggalkan posisinya di kantor dalam kurun waktu satu bulan, atau lebih dikenal sebagai one month notice.

Tangan gue begetar begitu melihat isi surat itu, menatap Januar dari jendela kaca di dalam ruangan yang kini tengah memandang kosong layar komputernya. Sepertinya ia menaruh surat itu pagi sekali sebelum gue datang.

Gue menarik napas panjang, menghirup udara banyak-banyak dan membuangnya dengan kasar. Sebanyak apa pun udara yang gue hirup, nyatanya tidak menghilangkan perasaan sesak yang terasa semakin mencekik. Batin gue bertanya-tanya mengapa semua terjadi secara bertubi-tubi. Berulang kali gue berbisik di dalam hati bahwa gue harus profesional dalam menghadapi hal ini. Setelah yakin dengan diri sendiri untuk mengatasi situasi saat ini, gue memutuskan untuk berbicara langsung dengan Januar.

"Januar, bisa ke ruangan sebentar?" panggil gue pada akhirnya. Semua mata rekan yang lain memandang dengan penuh tanda tanya, pasalnya inilah interaksi pertama yang gue buat dengan Januar di depan mereka, selama ini Januar yang selalu memulai dan gue tak pernah menggubrisnya.

Januar mengangguk dan mengekori gue untuk masuk ke dalam ruangan Khairi, melihat beberapa pasang mata yang lain belum mengalihkan atensinya dari kami, gue menarik tali yang tehubung pada tirai hingga jendela ruangan tertutup rapat.

Januar masih terdiam, tak berniat untuk membuka pembicaraan apalagi bertanya mengenai perihal keberadaannya di ruangan ini. Gue menduduki kursi dan menyodorkan amplop pengunduran diri milik Januar ke sang pemilik. "Amanah yang diberikan kepada saya di sini hanya untuk mensupervisi pekerjaan tim ini, bukan hal lainnya." Januar masih bergeming, tak merespon. "Lebih baik kamu memberikan surat ini langsung kepada Khairi jika ia sudah kembali nanti," ucap gue seformal mungkin, bersikap seperti atasan pengganti yang seharusnya.

Januar mengangguk singkat dan mengambil surat pengunduran dirinya dari meja, masih dalam diamnya, seolah tak mengacuhkan keberadaan gue sedikit pun di sana. Kemudian ia beranjak untuk keluar ruangan.

"Saya harap keputusan kamu kali ini tidak ada kaitannya dengan persoalan pribadi." Ucapan yang gue lontarkan menahan Januar untuk membuka pintu. Kemudian terdengar suara decihan disertai tawa mengolok setelahnya.

Januar membalikkan tubuh dan menatap gue. "Lihat siapa yang bicara tentang persoalan pribadi sekarang," ucapnya dengan tajam. "Bu Brigita," ucapnya penuh penekanan dan juga nada sarkas.

"Januar...," Gue berbisik pelan, cukup ragu setelah melihat respon Januar yang cukup buruk. "Lo nggak harus ngelakuin ini," ucap gue menanggalkan keformalan yang dibangun sebelumnya.

Nikah?Where stories live. Discover now