17.

752 163 13
                                    

"Git, aku rasa kamu harus pertimbangin lagi tentang rencana pernikahan kita."

Jantung gue terasa diremat begitu kuat saat mendengar kalimat yang Yiraga lontarkan.

Gue menoleh ke arah Yiraga yang masih menelungkupkan kepalanya pada kemudi. "Aku nggak salah denger kan?"

Tubuh Yiraga menegak. "Tolong jangan buat aku ulang kalimat itu untuk yang kedua kalinya," ujar Yiraga dengan getir.

Gue menarik napas panjang, mencoba mengendalikan diri dengan lebih baik. "Yi, kamu lagi nggak berpikir jernih," ucap gue yang lebih ke meyakinkan diri sendiri. Dari semua kemungkinan yang gue pikirkan akan reaksi Yiraga setelah mengetahui fakta hubungan gue dengan Rayhan di masa lalu, hal ini adalah hal terakhir yang gue inginkan, dan sama sekali tidak pernah gue harapkan.

"Aku rasa kamu yang harus berpikir jernih Git," ucap Yiraga yang membuat gue kehilangan kata, masih mencoba mencerna situasi yang tak mengenakkan ini. Bagaimana mungkin gue yang tidak berpikir jernih di sini? Bukankah kalimat itu lebih tepat ditunjukkan padanya?

"Aku sedang dalam kondisi yang sangat baik untuk berpikir jernih meski emosi aku nggak stabil setelah mendengar kalimat kamu tadi."

Gue mengelus bahu Yiraga, mencoba membuatnya untuk menatap gue, tetapi ia menarik tangan gue dari bahunya, berusaha mengabaikan kontak fisik yang gue buat. Ia lebih memilih untuk menatap lampu yang menerangi jalan temaram di luar jendela, sebuah penolakan yang membuat dunia gue terasa meredup seketika.

"Apa yang membuat kamu berpikir aku yang harus berpikir jernih di sini?" tanya gue dengan suara bergetar, tak dapat lagi membendung gelombang emosi yang bergulung dengan hebatnya. Namun gue mencoba bertahan untuk menggali motif Yiraga lebih jauh, gue tidak ingin menyerah begitu saja di titik ini. Jika diibaratkan perlombaan lari marathon, gue telah menempuh tujuh per delapan jarak yang harus dilalui, di waktu seperti ini, bukan saatnya untuk menyerah.

"Aku nggak mau kamu menyesal," ucap Yiraga lirih. "Dua tahun lalu saat aku pertama ketemu sama kamu, aku tahu seberapa besar cinta kamu untuk Rayhan."

"Itu dua tahun yang lalu Yi!" ucap gue dengan sedikit histeris. Air mata yang mendesak keluar sudah semakin bercucuran, gue mengusapnya dengan kasar, sebisa mungkin gue menyembunyikan isak tangis yang seperti memohon untuk dilepaskan sesegera mungkin.

Yiraga terdiam, dalam keheningan gue merasa udara di mobil semakin sesak, terasa sulit untuk bernapas. "Rayhan orang yang sangat baik, semua kejadian di masa lalu kalian hanya salah paham," ucapnya kemudian.

"Apa kamu pernah terpikir untuk mengeluarkan kalimat kayak gitu kalau bukan Rayhan orangnya?"

Yiraga bungkam, tak merespon kalimat yang gue lontarkan. Kepribadian Yiraga yang sangat menyayangi orang-orang di dekatnya dan memprioritaskan mereka lebih dari siapapun meski harus mengabaikan kebahagiaannya sendiri adalah akar permasalahan ini, dan Rayhan adalah orang yang sangat berarti untuk Yiraga.

"Kalau Januar yang ada di posisi itu apa kamu akan bereaksi sama? Menyerah akan pernikahan kita?" tanya gue perlahan. Genggaman Yiraga pada setir mobil menguat, terlihat tidak suka saat nama Januar disebut dalam percakapan. "Enggak kan Yi?" ucap gue lirih. "Ini semua karena Rayhan itu sahabat kamu kan?"

Gue melihat jemari Yiraga yang menggenggam setir semakin memutih, tanda ia mencengkramnya terlampau kuat. Gue mengerti ini juga bukanlah hal yang mudah untuk Yiraga, mungkin ia masih dalam tahap penyangkalan hingga bertindak sedemikian rupa spontan.

"Kalau kamu butuh waktu karena fakta mengejutkan yang baru kamu terima, aku akan beri kamu waktu selama mungkin Yi," ungkap gue sejujur mungkin. Jika Yiraga menginginkan untuk menunda pernikahan kami, gue masih bisa menerimanya, asalkan jangan dibatalkan.

Nikah?Onde as histórias ganham vida. Descobre agora