9

5.3K 790 76
                                    

Kaki gue terasa begitu lemas mendengar penuturan Gatra yang menceritakan bahwa Yiraga terlibat dalam sebuah kecelakaan beruntun. Dengan langkah tergopoh gue masuk ke dalam rumah untuk mengambil kunci mobil, mengabaikan Januar yang terus bertanya apa yang terjadi. 

"Git? Kenapa?" Ibu bertanya keheranan melihat gue yang kalut. 

Tangan gue gemetar dengan begitu hebat, bahkan untuk memutar kunci mobil untuk menyalakannya pun terasa begitu sulit. Ibu menarik kunci mobil dan mencoba menenangkan. "Ada apa? Ngomong sama ibu." 

"Aga Bu, Aga..."

"Ada apa sama Aga, Git?"

Air mata gue merembes keluar, tak kuasa menahan. "Gatra bilang Aga kecelakaan."

"Naik taksi online aja ya, Nak? ibu nggak mau kamu kenapa-napa." Ibu menyarankan.

Januar yang kebetulan belum pergi menghampiri kami berdua. Ia menyaksikan semuanya dalam diam. "Biar saya saja yang antar Brigita Bu," tawar Januar kemudian.

Gue menatap ibu, bermaksud meminta persetujuan. Ibu menghapus air mata air mata yang berlinang di pipi gue dan kemudian mengangguk. "Ibu sama Ayah nanti nyusul, jangan lupa kabari kami perkembangan kondisi Aga."

Gue mengangguk dan segera masuk ke dalam mobil Januar tanpa pikir panjang. Sementara Januar masih berpamitan dengan ibu. Untuk saat ini gue tidak ingin memikirkan hal lain selain bertemu dengan Yiraga secepatnya.

"Kita ke mana?" tanya Januar begitu masuk mobil.

"Ke rumah Aga. Gatra bilang keluarga lagi ngumpul di sana nungguin gue."

Kaos oblong dan celana tidur yang gue kenakan seolah menjadi saksi bagaimana kekalutan gue. Sepanjang jalan gue hanya menghaturkan doa untuk keselamatannya. Berbagai pikiran pun berkecamuk di benak, bahkan sampai ke yang terburuk sekalipun hingga air mata gue kembali menetes.

"Nggak usah khawatir, dia pasti baik-baik aja."

"Yiraga punya hemofilia, Jan." Isak tangis gue semakin menguat. Luka kecil saja bisa menjadi masalah besar baginya, apalagi dengan kecelakaan?

Gue menyesal meninggalkan dia tadi, gue menyesal tidak meminta penjelasan dan menyelesaikan masalah kami. 

"Jan, bisa lebih cepat?" pinta gue ke Januar dengan sedikit memelas.

Januar mengangguk mengiyakan, ia tidak banyak berkomentar, hanya sesekali menoleh untuk memastikan keadaan gue yang masih terus menangis sambil mengigit ibu jari.

Saat sampai kediaman Yiraga gue bahkan sudah membuka seatbelt dan pintu mobil sebelum mobil Januar berhenti sempurna.

"Git, perlu gue tunggu nggak?" tanya Januar memastikan.

Gue menggeleng pelan. "Nggak usah Jan, adeknya Aga bisa bawa mobil. Makasih ya!"

Tanpa menunggu lebih lama, gue segera memasuki kediaman Yiraga. 

"Gatra, Jun, Leo!" 

Keadaan di rumah Yiraga membuat gue mengelus dada dengan perlahan. Ketiganya malah sedang sibuk bermain PS.

"Bang Aga dirawat di mana? Kalian kok malah main PS?" 

Ketiganya menatap gue dengan kaget, dan saling sikut menyikut satu sama lain. 

"Kan, apa gue bilang, nggak sampai tiga puluh menit," ujar Gatra pelan.

"Anjir, kenapa gue pasang empat puluh menit tadi." Jun bersuara.

"Duit jajan Leo ilang deh."

"Duit jajan? apa maksudnya?!" Kini gue mulai meninggikan suara, membuat ketiganya mulai menciut dan saling menoel satu sama lain dengan kaki.

Nikah?Where stories live. Discover now