★4 : We Can Without Him

13 3 0
                                    

Rumput yang paling kuat tumbuhnya terdapat di atas tanah yang paling keras.

***

Setelah mendapatkan telepon dari sang kakak, Wilasa langsung tancap gas untuk pulang. Terlebih tadi kakaknya menceritakan apa yang telah terjadi di rumah tanpa sepengetahuannya.

Wilasa sempat mampir ke rumah utama untuk mengambil beberapa pakaian untuk adik kecilnya, Arshavina. Ia sempat bertemu dengan ayahnya dan juga wanita yang tadi dimaksud oleh kakaknya.

Mereka juga menawarkannya untuk tidur di sana, tapi Wilasa menolaknya secara mentah-mentah. Tentu saja, ia tidak mungkin memikirkan dirinya sendiri dan enak-enakan tidur di tempat yang nyaman sedangkan tiga perempuan yang sangat disayanginya di sana harus berbagi tempat hanya untuk memejamkan matanya dan mengistirahatkan otaknya.

Di paviliun, bunda dan adiknya sudah tertidur di atas tempat tidur yang sebenarnya hanya cukup untuk dua orang dewasa saja. Tapi, untuk malam ini, mereka harus berbagi tempat untuk empat orang. Bayangkan saja sesempit apa.

“Tadi, ayah nyuruh gue tidur di rumah,” ujar Wilasa membuka topik pembicaraan dengan kakaknya yang tengah melamun.

Alsava memang tipe orang yang akan terus kepikiran jika ada masalah yang datang ke dalam kehidupannya. “Kenapa gak lo turuti?”

Wilasa menggeleng lemah. Pandangannya naik, menatap langit malam yang dihiasi oleh ribuan bintang serta bulan. Indah, tapi tak seindah cerita malam hari di hidupnya.

“Karena lo, bunda, sama Arshavina segalanya buat gue.”

Pandangan Alsava ikut naik ke atas, apa yang matanya tangkap sama seperti apa yang mata Wilasa tangkap. Seindah itu.

“Bunda masih mau bertahan sama ayah, Wil. Cuma demi kita bertiga. Gue gak tau bunda yang terlalu baik, ayah yang terlalu jahat, atau kita yang cuma sebagai penghalang kebahagiaan bunda. Seandainya gue seberani itu buat minta bunda pisah aja sama ayah, udah gue minta itu dari sejak kita semua tau kalau ayah menikah lagi sama tante itu,” cerita Alsava menahan isakan yang sebentar lagi akan terdengar oleh indera pendengaran adiknya.

Wilasa diam saja, membiarkan Alsava menyelesaikan ceritanya. Dia tidak akan memotong sedikitpun sebelum Alsava yang memintanya langsung.

“Kalau ternyata kita cuma penghalang buat kebahagiaan bunda, lo gimana? Apa yang bakal lo lakuin, Wil?” tanya Alsava melirik ke arah adiknya.

“Yang gue lakuin ... gue bakal ubah semua opini lo, Kak. Gue bakal ubah kalau bunda sebenarnya enggak sebaik itu, bunda bisa jahat demi menyelamatkan mentalnya. Ayah, gue bakal buat kalau ayah enggak sejahat itu. Gue bakalan buat ayah ada di pihak kita lagi. Dan yang terakhir, gue bakalan berusaha keras buat bahagiain bunda. Gue gak akan minta lo sama Arshavina ngelakuin apapun, biar gue yang ngelakuinnya, tapi bunda bisa bahagia karena ada kita bertiga. Lo ngerti ‘kan maksud gue?”

Alsava hanya tersenyum sebagai jawabannya. Lalu dibalas lagi dengan rangkulan erat dari Wilasa di pundaknya. Setidaknya, Alsava perlu mensyukuri hal ini. Di saat keadaan tidak baik-baik saja seperti ini, Wilasa tidak semenyebalkan seperti biasanya.

“Kak,” panggilnya.

Alsava hanya berdeham pelan untuk menyahutinya. Ia sudah kehabisan kata-kata setelah mendengar jawaban adiknya tadi.

OKTROUBLE Where stories live. Discover now