Tujuh Belas!

36 5 2
                                    

"Mau ke mana Lo?" Pertanyaan itu Bara tujukan pada adiknya yang sepertinya akan pergi main. Terlihat dari pakaian bebasnya dan menggendong tas kecil di punggungnya.

"Kamu nenye?" Sementara yang ditanya malah memasang wajah menjengkelkan di mata Bara.

Melihat respon adiknya, Bara langsung kesal. Dasar Bara gak tau trend. "Sopan begitu sama gue?" Bara menghadang jalan pintu keluar rumah.

Sontak Sasa pun menghentikan langkahnya seraya mendengkus. "Apasih?"

"Apasih, apasih." Bara mengulang ucapan Sasa.

"Ihhh awas Abang! Aku mau pergi!" Sasa mendorong tubuh Bara yang menghalangi jalannya. Supaya dia bisa keluar dan pergi jalan-jalan bersamanya temannya.

"Gak ada pergi-pergian. Sekarang Lo pijitin gue." Bara menarik lengan Sasa dan membawanya ke arah sofa. Sedangkan sang empu terus menolak dengan berpegangan pada apa saja supaya tidak ikut tertarik oleh abangnya.

"IHH ABANG GAK MAU!" Teriakan Sasa menggelegar sampai satu rumah. "AKU MAU PERGI, ABANGG! PAPAHHH!"

Mendengar teriakan terakhir Sasa, sontak Bara langsung menjauhkan tangannya, berganti membungkam mulut gadis itu.

"Gak usah teriak-teriak, bisa? Lebay Lo!"

"Mpphh!"

"Ini ada apa sih, kok teriak-teriak?" Perhatian mereka teralihkan pada tangga rumah, di mana di anak tangga terakhir muncul seorang pria dengan pakaian santainya. Bara pun langsung menurunkan tangannya dari mulut Sasa.

"Papaaah!" Sementara Sasa langsung berlari ke arah papahnya lalu memeluknya dengan manja. Hal itu membuat Bara merotasikan matanya jengah.

Pria yang dipanggil 'papah' itu menyambut Sasa. "Aduhh kenapa sih anak Papah? Kenapa teriak-teriak, hm?"

Sasa menjauhkan wajahnya dari perut Bram, papahnya. Lalu menoleh ke belakang dan menunjuk Bara. "Abang tuh nyuruh-nyuruh aku. Masa aku disuruh mijitin dia," adunya dengan memasang wajah dimelas-melaskan.

"Bara," panggil Bram dengan lembut.

"Lebay banget Lo," tukas Bara melirik sinis pada Sasa.

"Bara," panggil Bram lagi, masih lembut.

"Aku cuma minta tolong, Pah. Badan Bara pegel-pegel."

"Bohong," potong Sasa dengan cepat. Bara langsung mendelik tidak suka.

Bram menggelengkan kepalanya. "Emangnya kamu habis ngapain sampai pegel-pegel gitu?"

"Tawuran kali," celetuk Sasa tiba-tiba.

"Huss ngawur kamu," tegur Bram pada Sasa. Sedangkan yang ditegur langsung mengerutkan bibirnya. "Kamu gak ikut-ikut kayak gitu kan, Bar?" tanyanya kemudian pada Bara untuk memastikan.

"Nggak lah, Pah. Omongan Sasa gak usah didengerin." Bara membela diri.

"Nyenyenye," cibir Sasa.

"Huss, gak boleh gitu sama Abang kamu," tegur Papah dengan nada lembut saat mendengar perkataan putrinya.

"Tuh denger," timpal Bara memojokkan Sasa.

"Papahhh," rengek Sasa meminta pembelaan.

"Kamu juga, Bar. Masa kamu jadi kakak nyuruh-nyuruh adik kamu sih. Kamu kan bisa pijit sendiri, atau enggak minta ke bibi minyak urut."

Bara berdecak. "Ah papah gak asik, belain aja terus." Usai mengatakan hal itu, Bara langsung berlalu begitu saja menaiki tangga.

"Huh pundung," sindir Sasa.

"Saa," tegur Bram dengan nada lembut.

"Habisnya, Pah abang nyebelin."

"Tapi, kan dia tetep abang kamu. Minta maaf gih sama abang kamu."

Sasa sedikit terkejut mendengar perkataan papahnya. "Kok jadi aku yang minta maaf?"

"Sasaa, ayok." Alih-alih menjawab pertanyaan Sasa, pria itu tersenyum hangat seraya mengangguk kepalanya.

Sasa hanya bisa pasrah ketika melihat raut wajah sang papah. Dengan sedikit terpaksa, Sasa mengiyakan lalu berjalan pergi menuju kamar Bara.

***

"Punya adek gak bisa diandelin banget. Lagian gue pegel kan habis bersihin aula. Itu juga gara-gara cowok yang dibelanya abis-abisan."

Dari masuk kamar, ganti baju, sampai mengambil minyak urut, Bara terus mendumel. Karena kesal pada Sasa, adiknya.

Bara duduk di kursi dengan kaki yang diselonjorkan ke atas kasur. Menuangkan sedikit minyak urut ke tangannya lalu disapukan pada bagian yang terasa pegal.

Gimana gak pegal-pegal, bayangkan saja, di sekolah Bara dihukum membersihkan satu aula yang luasnya minta ampun, dan ia harus membersihkannya sendiri. Sendiri!

"Lama-lama remuk dah badan gue kalo harus bersihin tiap hari."

"Makanya, Abang jangan iseng orangnya."

Celetukan seseorang membuat Bara langsung mengalihkan pandangannya ke arah pintu. Hanya sebentar, setelah itu kembali memalingkan wajahnya dengan memasang raut kesal.

Sasa berjalan mendekati kasur. Duduk di sana, tepat di samping kaki Bara yang diselonjorkan.

"Ngapain Lo ke sini?" tanya Bara sewot.

"Aku juga males sebenarnya ke sini. Tapi, yaa karena disuruh papah, makanya aku ke sini." Sasa mengambil alih minyak urut yang ada di tangan Bara.

"Ngapain sih?"

"Katanya minta dipijitin," balas Sasa mulai menuangkan sedikit minyak urut ke tangannya. Saat ingin menyapukannya pada kaki Bara, lelaki itu langsung menurunkan kedua kakinya.

"Gak usah. Lo bilang gak mau. Udah sana keluar."

"Ih Abang, baperan banget. Sini aku bantu."

"Gak usah. Dibilang gak usah, ya gak usah!" Nada bicara Bara mulai meninggi. Mengambil minyak urut yang ada di tangan Sasa dengan sedikit kasar.

Sasa langsung cemberut. "Tuh ya giliran aku pengen bantu, malah ditolak mentah-mentah. Serba salah emang."

"Telat." Bara kembali melanjutkan aktivitasnya, sementara Sasa hanya melihat.

"Aku minta maaf," kata Sasa akhirnya, setelah ia bungkam beberapa menit dan hanya memperhatikan Bara.

Bara berdecih. "Kenapa Lo? Kesambet?"

"Ih Abang serius!"

"Disuruh papah kan Lo buat minta maaf."

"Sebagai adik abang yang cantik dan baik hati, aku ngalah." Sasa mengangkat kedua tangannya. "Yaa walaupun bukan aku duluan yang salah. Lagian, coba aja Abang gak ngeselin, gak iseng sama orang lain, gak jahat ke Daf-"

"Lo niat gak sih minta maaf?" potong Bara dengan cepat membuat mulut Sasa sedikit terbuka. Apalagi saat tau nama yang akan disebut oleh Sasa. Raut kesal langsung terlihat jelas di wajah Bara.

"Ya niat lah. Kalo enggak, ngapain juga aku ke sini, nawarin pengen bantuin Abang, minta maa-"

"Gak perlu. Sekarang Lo keluar!" usir Bara. Kali ini terdengar serius.

"Loh, aku belum selesai."

"Keluar, Sa!"

"Abang juga belum jawab apa-apa, Abang belum bilang maafin aku apa eng-"

"KELUAR, SA!" Bentakan Bara yang ini sukses membuat Sasa tersentak dan seketika bungkam.

Sasa tiba-tiba membeku, entah kenapa bentakan Bara kali ini terasa menyakitkan. Padahal sebelumnya, ia terbiasa mendengar kata-kata bentakan atau semacamnya dari Bara.
Namun kali ini terasa beda.

Sasa perlahan bangun dari duduknya. Mendongak, menahan sesuatu yang terasa panas di matanya. Tanpa mengatakan apa pun, Sasa berlalu pergi keluar dari kamar Bara.

***

Part ini khusus buat Adek Abang yaww;)

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Nov 15, 2022 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Ketua Osis & Adik KelasWhere stories live. Discover now