03. Harapan dan kenyataan

365 30 1
                                    

  **

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

  **

Jakarta, Indonesia
   Setelah perjalanan yang cukup menguras waktu dan juga tenaga, akhirnya Akira sampai di sebuah komplek perumahan dengan sejuta kenangan masa sekolah yang indah disini. Sebuah rumah sederhana dengan halaman kecil yang berada di depannya itu tanpa sadar kini menjadi sangat asing baginya, rumah yang sempat Akira kutuk dan anggap sebagai neraka itu kini berada di depannya.

"Makasih ya, Pan" Ucap Akira lalu meraih sebuah ransel di jok belakang mobil.

Sebelum gadis itu membuka pintu mobil, Efan mencekal tangannya.

"Lo yakin mau nginep disini?"

Akira menganggukkan kepalanya. Tak dipungkiri, setelah sang Ayah memberi kabar bahwa Ayah Akira mengidap sebuah penyakit serius, naluri nya sebagai seorang anak perempuan langsung terenyuh begitu saja. Meskipun butuh satu malam untuk bergulat dengan egonya sendiri, namun pada akhirnya, Akira memilih mengalah dan memutuskan untuk mengunjungi Sang Ayah.

Efan melepaskan tangannya, dan Akira lantas turun. Gadis itu membalikkan badannya dan melambaikan tangan ke arah Efan yang mulai menyalakan mesin mobilnya. Meskipun, pada hakikatnya pria itu tak ingin meninggalkan Akira.

Akira termenung sebentar, ia ingin menghirup udara karena sudah cukup lama berada di dalam mobil. Matanya menyapu lingkungan komplek yang masih tetap sama seperti dulu, tenang, damai, dan sepi.

Sampai matanya terkunci pada sebuah rumah megah yang masih berdiri kokoh di samping rumah lamanya. Ujung bibir Akira terangkat tipis, senyumnya nyaris tak terlihat.

Lamunannya seakan buyar kala pintu rumah itu terbuka, menampakkan seorang gadis remaja dengan rambut terurai dan memegang tali anjing peliharaannya di tangan kirinya.

Berbagai pertanyaan mulai menyerang kepala Akira. Ya— mungkin saja penghuni baru, secara rumah itu sudah kosong lebih dari tiga tahun.

Guk.. Guk...

Anjing putih berjenis Samoyed itu berhenti saat melintas di depan Akira dan hewan itu mengongong kearahnya.

"Ada apa denganmu Robin?" Ujar pemiliknya.

Akira terkejut "Robin?"

Bertepatan dengan itu seorang lelaki paruh baya membuka pintu gerbang rumah dengan memegang sebuah tongkat untuk alat bantu jalan, gadis dengan anjing peliharaannya itu berjalan berlalu meninggalkan Akira yang kini mengalihkan pandangan sepenuhnya ke arah sang Ayah.

"Akira!!" Sapa lelaki paruh baya itu sembari merentangkan kedua tangannya menyambut Akira.

Akira mengangkat kedua ujung bibirnya membentuk sebuah senyum tipis, gadis itu lalu berjalan mendekat dan memeluk sang Ayah. Tak dipungkiri bahwa ia sangat merindukan lelaki tua ini tak peduli dengan bagaimana Ayahnya membuangnya dahulu. Tapi benar memang bahwa darah lebih kental daripada air.

**

Zurich, Swiss
   Ammara sedang duduk di kursi ruang tengah sembari ditemani secangkir kopi hangat, dan sambungan video call dari sang Ayah yang menyambut pagi hari gadis itu.

"Bagaimana kabarmu dan Aksa?"

—dan Arika?

Ammara tersenyum getir sebelum menjawab, entah kapan sang Ayah akan menerima putrinya itu, meskipun pada dasarnya ini semua sama sekali bukan kesalahan Arika, dan gadis kecil itu tidak ada sangkut pautnya dengan apapun yang terjadi. Ini semua murni kesalahan Ammara dan By—

"Hei Ammara"

Panggilan sang Ayah membuyarkan lamunannya. Mata gadis itu kembali menatap lelaki paruh baya di sebrang sana yang sedang setengah duduk di atas ranjang rumah sakit.

"Ammara baik-baik saja" Jawab gadis itu diakhiri senyum tipis "Lalu Bagaimana dengan Papa?"

Ammara membenahi posisi duduknya untuk lebih dekat dengan layar agar bisa melihat wajah sang Ayah lebih jelas. Keriput mulai jelas terlihat di wajah lelaki itu. Wajah garang, dan tatapan tajam kini mulai pudar, digantikan dengan wajah pucat dan kulit yang mulai kendur.

Ayah Ammara mengangguk pelan, meskipun Ammara sebenarnya tahu bahwa sang Ayah sudah sekuat tenaga melawan penyakit kanker yang mulai menggerogoti otaknya. Beberapa detik sunyi, tak ada percakapan dari Ayah dan anak itu, hingga satu pertanyaan yang terlontar dari mulut Ayahnya.

"Apa kamu bahagia dengan Aksa?"

Ammara menengang sejenak, otaknya berputar, tak ada yang menanyakan pertanyaan itu sebelumnya, tak ada yang tau apa yang dirasakan Ammara sebenarnya. Hidup dengan seseorang yang tidak mencintaimu, bahkan tidak mau menyentuhmu.

Hidupnya memang indah bila dilihat dari jauh. Namun, jika kau mendekat, kau akan menemukan sebuah luka yang dalam, luka yang tak kunjung sembuh, luka yang dari beberapa tahun lalu masih mengusik rumah tangga mereka berdua, dan bodohnya Ammara tak ingin sembuh dari luka itu, ia masih terus ingin merasakan sakitnya agar dia masih bisa mengingat sosok lelaki itu dalam hidupnya, meskipun itu membuat Ammara tidak baik-baik saja.

"Ammara bahagia kok Pa"

Suara langkah kaki dibelakang Ammara membuat gadis itu mengalihkan pandangannya dari arah layar laptop ke arah tangga dimana seorang pria dengan setelan yang sudah rapi turun dari lantai atas dengan menenteng sebuah tas hitam.

"Ammara matiin dulu ya Pa, nanti Ammara hubungi Papa lagi. See you!"

Gadis itu mematikan sambungan secara sepihak lalu berdiri dan bergegas mendekati Aksa.

"Sa, Kamu gak sarapan dulu?"

Pria itu melirik jam tangan yang ada di legan kirinya.  Langkah pria itu akhirnya menuju ke meja makan dan duduk di salah satu kursi.

Hening 

Aksa memasukan sebuah roti selai kedalam mulutnya.

"Sa?"

Aksa mendongak, menatap Ammara yang sedang berdiri di sebrang meja sana. Pria itu menaikan alisnya, menunggu kata yang akan terlontar dari mulut Ammara selanjutnya.

"Arika ada acara disekolahnya, kita di undang buat dateng nanti malam"

"Kita?"

"Kita— kan orang tua Arika"

"Gabisa, aku ada rapat nanti malam"

"Rapat lebih penting dari Arika ya?"

Aksa menghembuskan nafas berat.

"Aku kerja buat kalian berdua"

"Aku gak butuh uang kamu Sa, kita butuh kamu"

Selalu saja begitu. Kenyataan selalu bertolak belakang dengan Harapan Ammara, semuanya tak pernah sesuai dengan keinginannya, seakan semua kendali ada di tangan Aksa, ia hanya bisa berharap lalu kecewa. Apakah ini yang disebut hidup bahagia?

**

Tbc..

AKSARAJASA 2Where stories live. Discover now