Bab 05

31.3K 3K 50
                                    

Untuk pertama kalinya Lethisa memasuki ruang makan yang sudah dihuni oleh seluruh anggota Wesley—karena hari-hari sebelumnya ia makan sendirian di kamar.

Isaac selaku kepala keluarga duduk di kursi utama. Istrinya, Milana duduk di sebelah kiri dan Hendry duduk di kanan. Ketiganya sama-sama menatap gadis yang baru tiba dengan sorot mata berbinar dan tersenyum tipis.

Sayangnya, Lethisa enggan membalas dengan hal yang sama. Ia masih betah memasang tampang datar lalu segera menarik sebuah kursi kosong untuknya sendiri kemudian duduk di sebelah Hendry.

Beberapa pelayan kemudian menyajikan piring berisi menu yang sama di atas meja untuk masing-masing orang di sana. Tidak hanya itu, seorang pelayan pria menuangkan minuman keunguan pada tiap-tiap gelas kosong secara bergantian.

Sepiring bistik dan segelas anggur.

Lethisa tak segera mengangkat garpu dan pisaunya, justru memandangi menu makan malam yang tersaji untuknya itu lamat-lamat untuk waktu yang cukup lama. Ia tidak berselera untuk makan. Apa yang harus ia lakukan?

“Ada apa? Kau tidak suka makanan? Mau makan apa? Para pelayan bisa—”

“Tidak perlu.”

Lethisa dengan cepat memotong kalimat Milana dan pada akhirnya mengambil pisau dan garpunya. Ia memaksakan diri untuk menyantap makanannya.

“Jika ada yang kau mau, katakan saja. Kau harus makan banyak agar cepat pulih karena sudah seminggu pingsan.”

Lethisa melirik Milana sekilas. “... Seminggu?”

“Benar. Karena itu, makanlah yang banyak.”

“Padahal, aku di akhirat tidak sampai lima menit,” monolognya.

Kalimat monolog Lethisa berhasil membuat atmosfer dingin dan canggung mendadak menyelimuti mereka. Yang tersisa hanya suara denting yang berasal dari Lethisa. Ia fokus pada makanannya tanpa peduli pada apa pun. Sedangkan ketiga orang lainnya mendadak kehilangan nafsu makan.

“Apa aku boleh bertanya?” ujar Lethisa di sela mengunyah.

Isaac meletakkan pisau dan garpu ditangannya. Ia sudah selesai makan meski makanannya belum tersentuh sama sekali. Pria bangsawan itu menautkan jari-jemarinya dengan siku bertumpu di atas meja sembari memasang senyum tipis.

“Boleh. Katakanlah,” balas Isaac.

“Apa kalian ini punya musuh?”

Isaac mengangkat sebelah alis. “Musuh?”

“Anakmu, Lethisa Wesley bilang padaku kalau orang yang menculiknya adalah imigran gelap yang dibayar oleh seseorang karena ingin menghancurkan keluarga ini,” kata Lethisa, sedikit menjabarkan.

Isaac membisu sejenak. Bukan hanya dirinya, Milana dan Hendry pun sama. Kalimat Lethisa barusan membuat mereka merasa sesak. Karena Lethisa mengatakan ‘putrimu’ seolah tengah menceritakan nasib orang lain. Mereka jadi semakin yakin jika gadis itu benar-benar memiliki kepribadian ganda.

Isaac segera berdehem, berusaha mengubah suasana.

“Biar Ayah yang mengurusnya. Kau tenang saja, tidak perlu memikirkan atau melakukan apa pun.” Isaac tersenyum paksa.

Villainess Want to Die [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang