Bab 35

12.3K 1.4K 60
                                    

Di dalam barak milik tentara Finnomark, terdapat sebuah meja dengan beberapa kursi di sekitarnya. Lethisa, Dare, dan Theo—wakil komandan Finnomark—duduk di kursi yang berseberangan tanpa ada yang buka suara. Suasana di luar sudah jauh lebih kondusif. Tak ada lagi suara adu pedang dan jerit kesakitan. Yang tersisa hanya lah perang dingin.

Sudah hampir satu jam berlalu setelah kekacauan yang terjadi akibat kedatangan pasukan Virgas. Dan di sini Lethisa sekarang, di dalam barak, menunggu kehadiran Chester, Victor, dan Max untuk membahas kelanjutan nasib dua negara.

Yang ditunggu akhirnya tiba.

Pria bersurai pirang keperakan itu hanya menatap Lethisa yang masih memasang ekspresi masam ke sembarang. Setelah ia memutuskan untuk duduk di sebelah gadis itu pun, Lethisa sama sekali tak melihat ke arahnya, justru sengaja membuang muka.

Chester menghela napas lemah. Rupanya Lethisa masih menghindari dirinya setelah sebelumnya sempat berlari untuk menyendiri di tepian sungai cukup lama.

“Karena semuanya sudah hadir, mari kita cari jalan tengah tanpa ada gencatan senjata dan tanpa merugikan pihak mana pun.” Lethisa akhirnya buka suara, memecah keheningan.

Dare mengaguk setuju. “Jadi, apa solusi yang sebelumnya hendak kau tawarkan, Nona Wesley?”

“Bisakah kau jelaskan dulu padaku, kenapa peperangan ini bisa terjadi? Dari sudut pandangmu,” ujar Lethisa.

“Karena negara kalian mengancam tidak akan mengekspor bahan pangan lagi jika tidak diberi seperlima bagian tambang permata yang ada di negara kami. Kalian mencoba merampok kami, bahkan sampai mengirim penyusup untuk membakar istana kerajaan kami karena kami tidak kunjung sepakat dan terus mengulur waktu.”

Chester mengernyit dalam, merasakan kejanggalan.

“Tetapi, yang kudengar tidak seperti itu. Bukankah kalian yang membuat kekacauan di wilayah perbatasan dan menculik orang-orang negara kami untuk dijadikan budak? Kalian juga meminta tambang bijih besi sebagai bayaran membebaskan mereka. Kalian lah yang mengibarkan bendera perang lebih dulu dan menolak berdiplomasi.”

Lethisa tiba-tiba menjentikkan jari.

“Nah, sekarang sudah jelas kan? Ada yang ingin mengadu domba kalian. Entah apa tujuannya, tapi pasti niatnya buruk.”

Kalimat itu mengundang atensi dari kelima pria yang ada di sana. Mereka sama-sama mengernyit dan memicing mata.

“Siapa yang sudah lancang bermain-main seperti ini?” Dare mencecar tertahan.

“Pasti Pangeran Edgar, pangeran kedua Kerajaan Virgas,” balas Lethisa enteng seraya mengedik bahu. “Dia sudah pernah melakukan hal ini sebelumnya—mengadu domba negara lain hingga terjadi peperangan. Iya kan, Victor?”

Si pemilik nama hanya mengangguk kukuh, mengiyakan.

“Bukankah miris seandainya perang ini benar-benar terjadi dan memakan korban, padahal hanya ada kesalahpahaman? Mungkin kalian dan para prajurit lainnya yang datang ke sini sudah siap mati demi negara masing-masing. Jadi, kalaupun kalian mati di sini, kalian justru merasa terhormat karena mati demi membela negara. Namun, kenyataannya kalian mati demi kepuasan pribadi seseorang. Bukankah itu keterlaluan?”

Kalimat lanjutan Lethisa berhasil membakar rongga dada mereka—terutama Dare yang sudah berapi-api akan amarah.

“Berengsek! Aku akan menangkap dan memenggalnya!”

Villainess Want to Die [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang