Bab 33

11.1K 1.4K 124
                                    

Ketika terdengar ketukan dan pintu kamar utama dibuka, Isaac dan Milana segera menaruh atensi pada sumber suara, memandangi kedatangan putra sulung mereka yang berjalan sembari tertunduk lesu dan muram.

“Bagaimana? Apa Lethisa sudah ditemukan?”

Hendry menggeleng lemah. “Belum, Ibu.”

Bahu wanita itu sontak meluruh. Sambil menggigit bibir, ia kembali mendaratkan bokongnya di sofa kamar. Isaac segera mendekap istrinya, mengusap punggungnya lembut, berupaya menenangkan sang istri meskipun pikirannya sendiri tengah berkecamuk hebat, kepalanya juga serasa ingin meledak.

Hari sudah berganti, tapi Lethisa belum juga kembali sejak kepergiannya kemarin pagi. Bagaimana mereka tidak cemas? Seisi kediaman kalang kabut mencari keberadaannya.

Saat sudah berdiri di hadapan kedua orang tuanya, Hendry menatap tajam sang Ayah. Dengan amarah yang susah payah ia tahan, akhirnya ia kembali bersuara.

“Semua ini karena Ayah,” ujarnya dingin. “Seandainya Ayah tidak membentaknya di depan anggota dewan, ini pasti tidak akan terjadi. Lethisa tidak akan marah dan pergi,” timpalnya lagi penuh penekanan.

“Kata-katanya kemarin sudah keterlaluan, Hendry. Ayah harus menegurnya dengan tegas,” balas Isaac, membela diri.

Hendry langsung mendecih kala mendengarnya.

“Kenapa baru sekarang?” Katanya retoris. “Selama ini, jika Lethisa melakukan kesalahan, Ayah akan membuatnya jadi benar dan seisi dunia lah yang bersalah. Seharusnya Ayah tidak memarahinya karena inilah hasil dari perilaku Ayah yang selama ini terlalu memanjakannya,” imbuh Hendry dengan sinis.

Kata-kata Hendry menusuk tepat di jantung Isaac. Ia hanya diam termangu, merasa tidak memiliki kuasa untuk membela diri sebab apa yang baru saja putra sulungnya katakan benar—meski ia tidak sepenuhnya menyesal telah memanjakan putri semata wayangnya, hanya sedikit menyayangkan perilakunya di masa lalu.

“Seharusnya, sejak awal Ayah jangan memperlakukannya secara istimewa. Didiklah dia sama seperti cara Ayah mendidik putra-putra Ayah. Tegur jika bertindak bodoh, marahi jika melakukan kesalahan, pukul jika keterlaluan, usir jika mencemari nama baik keluarga. Dengan begitu, kejadian seperti ini tidak akan pernah terjadi.”

Hendry bukannya cemburu pada adik perempuannya yang selalu diperlakukan bak seorang tuan putri di rumah mereka. Ia tak menyangkal jika ia juga kerap kali memanjakan adiknya, sama seperti Ayahnya. Namun, cara Isaac memperlakukan putri tunggalnya terkadang melampaui batas wajar.

Sebagai salah satu contoh, selama beberapa bulan terakhir, adiknya sering merasakan hal-hal pahit yang berkaitan dengan Devon. Adiknya selalu merasa sakit hati karena perilaku sang Grand Duke itu. Tetapi, apa yang Isaac lakukan? Tidak ada. Hanya karena putri kesayangannya berkata “Jangan, Ayah.” Isaac benar-benar tidak melakukan perhitungan apa pun.

Hendry tak habis pikir. Ia sama sekali tidak mengerti jalan pikiran Ayahnya, jika itu menyangkut soal Lethisa.

“Yang mulia!”

Sebuah seruan menyeruak dan mengubah atensi ketiganya. Seorang kesatria di bawah naungan Wesley memasuki kamar tempat mereka berada dengan tergesa.

“Maafkan kelancangan saya, Yang mulia. Saya hanya ingin menyampaikan ini. Seseorang baru saja menitipkannya kepada saya. Dari Nona Muda.”

Villainess Want to Die [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang