Chap 1. Bookstore

2.4K 456 203
                                    

Jangan lupa vote sebelum baca 🍊

Jangan lupa vote sebelum baca 🍊

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.



🍊

Ada jadwal rutin di mana seorang Gyanna Bening Shafira akan datang ke toko buku untuk memberikan self-reward karena sudah bekerja keras sepanjang bulan ini. Seperti kebiasaannya sejak dulu, koleksi novelnya yang telah menghabiskan satu lemari penuh tidaklah mengurungkan niat gadis berkuncir dua itu untuk membeli judul novel yang telah ia list sendiri dari bulan lalu.

Mengoleksi dan membaca novel fiksi ringan adalah healing terbaik yang Gyanna pilih. Ia tidak terlalu suka membaca cerita yang rumit, karena hidup saja untuknya sudah berat.

Dibesarkan oleh seorang ibu tunggal, yang belakangan ini baru Gya ketahui mengidap Gerd dan maag kronis saja sudah membuatnya sakit kepala. Ditambah sampai sekarang pun Gyanna tak memiliki kesempatan untuk mengetahui bagaimana rupa ayahnya, membuat Gya memilih untuk tidak mau menambah beban di otaknya.

"Kapasitas otak lo limited. Jadi, tolong jangan ditambahin lagi!"

Gyanna mendengkus mengingat kalimat dari sahabat satu-satunya itu. Ia meletakkan kembali novel berwarna biru tua yang sejak tadi dipegangnya ke rak, lalu beralih pada buku pertama yang ia lihat.

"Inti cerita tadi udah terlalu sering kubaca. Geng motor lagi, geng motor lagi, memangnya remaja sekarang suka banget, ya, sama geng motor?"

Gyanna bermonolog sambil membuka lembaran novel pertama tadi. Kali ini, novel yang ia ambil bersampul jingga, mengisahkan tentang seorang gadis bernama seperti warna sampulnya.

"Jingga?" gumamnya sembari menyunggingkan senyum. "Aku ambil ini aja, deh!"

Selanjutnya, gadis itu berbalik dan menuju kasir. Gya menggoyangkan kepalanya ke kanan dan kiri sambil bersenandung kecil ketika menunggu antrian. Dua orang di depannya tak terlalu lama mengantri, sampai akhirnya tiba giliran Gya.

"Tujuh puluh tiga ribu, ya, Dek," ucap si kasir ramah.

Namun, kata terakhir dari perempuan berseragam merah dengan rambut tercepol itu justru dibalas Gya dengan bibir maju. Umurnya sudah di penghujung dua puluh lima, sebentar lagi malah seperempat abadnya kadaluarsa, tapi tidak jarang orang-orang memanggilnya seolah dia masih anak SMA.

"Mbaknya umur berapa?" tanya Gya tak terima.

"Iya?" balas kasir itu agak terkejut.

"Mbak umur berapa, kok, panggil saya adik? Saya udah dua puluh lima tahun tau!" protes Gya sambil bersedekap.

"Oh, iya, Kak. Maaf kalau begitu, saya tidak tahu." Sang kasir masih berusaha ramah.

Gyanna mencebik, tapi akhirnya tak lagi menyahut. Ia sibuk memeriksa dirinya yang baru saja tersadar tidak membawa tas, lalu beralih merogoh saku jaket pink dan celana jeans-nya, tetapi nihil. Gadis berkuncir dua itu menyengir kaku saat raut wajah mbak kasir mulai mengeruh.

HANNA [TERBIT]Where stories live. Discover now