Bagian 7

316 42 8
                                    


Seharusnya Moreo sudah tidak perlu terkejut dengan apa yang akan terjadi malam ini. Tentu saja malam ini tidak akan berlalu begitu saja tanpa adanya pembicaraan bersama Sang Papa, tapi tetap saja Moreo sedikit takut.

"Jadi?" tanya Jendral dengan suara baritonnya.

Moreo menghela nafas pelan. "Waktu Kala telepon, aku dalam kondisi menyetir. Hujan sedang turun besar-besarnya saat itu, jadi aku tidak berani buka ponsel. Niatku ke Cafe depan kampus itu untuk neduh sekaligus kerjakan tugas. Setelah sampai di sana aku langsung telepon Kala karena lihat panggilan tidak terjawab di ponselku banyak."

Jeda sebentar sebelum Moreo kembali melanjutkan penjelasannya. "Ternyata Kala minta dijemput di Cafe yang sama, setelah tahu posisinya aku langsung bawa Kala masuk lagi karena hujan kembali besar. Kemudian aku makan dan kerjakan tugas hingga selesai."

Moreo menghela nafas lega setelah menyelesaikan penjelasannya. Dengan sedikit takut dia menatap papa yang masih setia duduk di kursi kerjanya dengan pandangan mata yang menajam.

"Ya sudah, penjelasannya Papa terima," ucap Jendral.

Atmosfer di ruangan kerja papa kini menjadi sedikit lebih tenang dari pada sebelumnya. Jujur saja, meskipun Moreo sering diajak berbicara seperti ini, suasana yang selalu ia rasakan itu tetap sama.

Takut.

Takut dengan segala penjelasannya yang mungkin saja tidak diterima dan takut dengan intimidasi papa yang begitu kuat.

"Hanya saja, lain kali tolong beri kabar. Kasihan Adikmu sudah menunggu cukup lama di luar Cafe dengan kondisi hujan besar. Kamu tahu sendiri, Adikmu tidak tahan dengan udara dingin."

"Iya Pa."

Jendral menyeruput teh manisnya, lalu memandang anak sulungnya yang juga tengah menatapnya. Tatapan matanya melembut, lalu tersenyum tipis.

"Selain Papa, kamu pasti menjadi orang pertama yang Kala andalkan, Mor. Papa yakin sebelum Kala hubungi Papa, pasti dia hubungi kamu terlebih dahulu," kata Jendral.

Di hadapannya, Moreo mengangguk mengerti. Dia sangat tahu akan tabiat sang adik yang selalu seperti itu.

"Saat Kala menghubungi Papa, Papa sedang melaksanakan meeting bersama orang paling penting yang memiliki pengaruh besar terhadap perusahaan. Bisa kamu bayangkan, andai saja Papa pergi menjemput Adikmu saat itu?" tanya Jendral.

Ingatan Jendral kembali berputar pada sore hari tadi yang cukup membuat dirinya sedikit repot. Di tengah-tengah meeting dengan orang-orang penting, sekretarisnya tiba-tiba saja memberitahu bahwa anak bungsunya menelepon.

Jendral cukup bingung antara terima atau abaikan. Namun, kembali lagi pada prinsipnya yang mengutamakan keluarga, Jendral rela menginterupsi meeting itu untuk mengangkat telepon dari Kala. Bukannya mendapat kabar baik, Jendral justru mendapat kabar yang cukup mengkhawatirkan akan anaknya yang masih belum pulang ke rumah. Dirinya sempat bingung sesaat harus melakukan tindakan apa.

Untungnya Kala langsung mengatakan bahwa Moreo sudah datang menjemputnya. Dia segera menutup panggilan itu dan meminta maaf atas dirinya yang menginterupsi meeting tiba-tiba.

"Iya, Pa."

"Ya sudah, sana kembali ke kamar. Langsung tidur," titah Jendral. "Jangan main game apalagi sampai begadang," lanjutnya.

Moreo mengangguk kaku lalu pergi keluar meninggalkan ruang kerja papanya. Tak lama setelah Moreo, Jendral pun melakukan hal yang sama. Dia keluar dari sana dan beranjak menuju kamar anak bungsungnya.

Begitu membuka pintu, dia bisa melihat Kala yang tengah terlelap dengan jaket dan selimut tebal yang melingkupi tubuhnya. Jendral jalan mendekat, ia duduk di ranjang seraya mengusap surai Kala yang sedikit berantakan. Alangkah terkejutnya saat kulit tangannya bersentuhan, Jendral merasakan suhu tubuh Kala panas.

KALANDRAWhere stories live. Discover now