Eps. 3 : Ada apa dengan Sonya?

31 2 0
                                    

~Menatap langit saja, aku tak mampu. Apalagi menggapai bulan. Terlalu tinggi yang ku harapkan. Namun, hanya doa yang bisa ku langitkan~

***

Sonya menatap lekat wajah pria itu. Pria itu hanya tertunduk. Hati Sonya entah mengapa berdesir menatap pria yang di depannya tertunduk. Berbeda dengan para lelaki hidung belang itu yang justru menatapnya dengan rasa nafsu.

"Pergilah," katanya dengan lembut.

"T...tapi...." bibir Sonya bergetar.

"Jangan salahkan mereka. Mereka sedang di luar kendali."

Sonya membelalakkan kedua matanya. Ia benar-benar ketakutan ketika pria itu mengatakan mereka sedang di luar kendali. Ia mengetatkan kedua tangannya. Bola matanya mendadak saja kabur. Dunia seperti meruntuhkannya. Sonya jatuh pingsan ke tanah. Gus Faris yang tak berani menatapnya, kaget melihat Sonya pingsan.

Mereka yang dipengaruhi aura negatif, baru sadarkan diri. Mereka saling menatap keheranan. Alan yang ikut menyaksikan kejadian tadi, tak berkedip sekalipun. Karena dia melihat semuanya. Melihat dengan mata batin yang ia punya.

"Alan, kau telepon pengurus pondok putri agar membawa gadis ini ke kamar tamu," pinta Gus Faris panik.

"Tapi, Gus. Kenapa tidak kau gendong saja?" Alan sadar dengan ucapannya, ia langsung mengatupkan bibirnya.

"Dia bukan istriku. Jadi, aku tidak berhak untuk menyentuhnya. Begitu pula kau."

"Baik, Gus."

Alan hanya bisa pasrah. Ia tau resiko berteman dengan orang alim. Fanatik dengan agama. Ia hendak mengambil ponsel dari saku bajunya, lupa kalau ponsel itu disimpan Gus Faris.

"Tapi, Gus. Ponselku masih Gus simpan." Gus Faris menghela napas panjang. Ia juga lupa. Ia pun mengeluarkan ponselnya dari saku bajunya, lalu ia berikan padanya.

"Ingat, Alan. Hanya hari ini saja."

"Enjeh, Gus."

Alan menerima ponselnya. Ia coba menelpon pengurus pondok putri. Ketua pondok putri pesantren Al-Huda. Namanya Yana. Alan menghubungkan teleponnya. Dalam beberapa menit, telepon terhubung.

"Assalamualaikum, dengan siapa?" sapa Yana dengan sopan.

"Aku Alan. Santri putra. Gus Faris meminta beberapa santri putri untuk ke pasar. Ini bener-bener urgent," kata Alan.

Yana mengerutkan dahi bingung. "Memangnya ada apa kang?"

"Sudah cepat kesini saja. Kau minta kang-kang ndalem untuk mengantarkan kalian."

"Iya, kita akan segera ke sana."

Yana menuruti perintahnya. Ia menutup teleponnya dan dengan gerak cepat, ia mengumumkan pada semua santri bahwa dia memerlukan lima santri yang menganggur untuk segera ke pasar. Itu atas perintah Gus Faris. Mendengar kata Gus Faris, hati mereka meledak. Antara ingin menatap wajah Gus Faris. Juga takut akan sikap dinginnya.

"Kenapa kalian belum turun? Kalau romo kiyai sampai dhawuh bagaimana?" Yana tak sabaran melihat tangga masih sepi. Mereka sama sekali tidak bergerak. Ia mengira dengan melibatkan nama Gus Faris, mereka akan berduyun-duyun keluar. Nyatanya, yang terdengar hanyalah kipas angin.

GUS 24 KARATKde žijí příběhy. Začni objevovat