Eps. 5 : Tangisan Sonya

24 0 0
                                    

~Dia tidak berhak melarang seseorang mencintainya. Tapi, dia juga berhak mencintai seseorang yang dipilihnya.~

***

Sonya memang sungguh memalukan! Yana sebagai ketua pondok tak bisa tinggal diam. Semakin dibiarkan nanti semakin melunjak. Ia pun memberanikan diri menghampiri Sonya di depan Kiyai Habib dan Bu nyai Hamidah.

Yana berjalan menghampiri mereka dengan kepala tertunduk. "Maaf Romo, Bu nyai. Sonya baru sadarkan diri. Jadi, dia perlu istirahat," katanya dengan sopan. Sonya langsung terperangah pada Yana.

"Iya tidak apa-apa, Yana. Beri dia makanan di dapur," pinta Bu nyai Hamidah.

"Enjeh, Bu nyai."

Yana mendekat ke arah Sonya. Ia meraih tangannya. Tangan Sonya malah tak bisa dipegang. Ia masih menatap Kiyai Habib dan Bu nyai Hamidah.

"Sonya, ayo. Jangan bikin malu terus," bisik Yana. Sonya justru mengabaikan perkataannya. Ia menatap kedua orang tua Gus Faris dengan penuh arti.

"Om, tante. Bolehkah saya memeluk om juga tante?" Pertanyaan Sonya membuat mereka terbelalak.

"Boleh. Pasti kau rindu orang tuamu. Tapi, untuk Mas Habib tidak bisa kau peluk," jawab Bu nyai Hamidah mengerti perasaan Sonya sebagai rasa seorang ibu terhadap anaknya. Terlebih Bu nyai Hamidah sangat menginginkan punya anak perempuan.

"Tidak apa-apa tante."

Sonya berdiri. Ke empat teman Yana tadi terpukau melihat kejadian di ruang makan. Yang tadi hanya empat di balik dinding, mendadak santri lain setelah mengaji berbondong-bondong ikut menyaksikan karena penasaran.

"Ada apa nih? Kok pada tegang?" tanya Diva, santri paling heboh di pesantren. Termasuk fans berat Gus Faris. Ke empat teman Yana tadi terdiam. Mereka masih terpukau. Diva tak mau ketinggalan. Dia ikut mengintip dari balik dinding. Saat melihat mereka di ruang makan, Diva termangu. Ia tak menduga kalau ada Sonya Andini di sana. Apalagi yang bikin heboh, Sonya berjalan menghampiri Bu nyai Hamidah dan mereka berpelukan.

Sonya menangis dalam pelukan Bu nyai Hamidah. Bayang-bayang wajah mamanya yang sangat ia rindukan tak bisa membendung air matanya. Ia menangis terisak. Mendengar isakan tangisannya, Bu nyai Hamidah yakin kalau Sonya memiliki masa lalu yang kelam. Beliau mengelus lembut punggung Sonya.

"Sonya, bagaimana kalau kita ke kamar? Kau ungkapkan apa saja yang kau rasakan selama ini. Mungkin dengan begitu, hatimu bisa tenang," tutur Bu nyai Hamidah memberi ruang untuk bercerita.

Sonya tak menjawab. Ia larut dalam tangisannya. Bu nyai Hamidah melepas pelukannya. Beliau memegang kedua bahunya menenangkan.

"Ayo kita ke kamar," ajak Bu nyai Hamidah. Sonya mengangguk sambil mengusap air matanya.

"Yana, sarapan buat Sonya kau antarkan di kamar ya?" pinta Bu nyai Hamidah sontak membuat para santri yang menyaksikan pelukan itu tercengang. Baru datang di pesantren, dia sudah meluluhkan hati beliau. Entah sihir apa yang Sonya punya.

"Enjeh, Bu nyai."

Yana melangkah ke dapur ndalem, Bu nyai Hamidah langsung merangkul Sonya. Mengajaknya ke kamar. Kiyai Habib menghela napas. Baru kali ini, ada seorang wanita datang ke pesantren mengatakan yang sejujurnya.

GUS 24 KARATWhere stories live. Discover now