Eps. 9 : Barista sehari

12 0 0
                                    

~Pahitnya perkataanmu tak mengubah rasa manis yang tersimpan di lubuk hatiku. Menjadikan butir-butir air mata mengucap doa dan menyebut namamu~

***

"Salah satu kunci bahagia adalah dengan bersyukur. Dengan bersyukur kita bisa terhindar dari sifat iri, dan dengki. Dengan bersyukur, hidup kita akan menjadi tenang dan tentram," kata Ustadz Mirza, salah satu ustadz yang mengisi pengajian Al-hikam setiap malam jum'at legi di Aula pesantren.

"Seperti kalam yang diucapkan Athaillah As-sakandari, li ya qilla ma tafrohu bihi wa ya qillu ma tahzanu alaihi. Yang artinya; Tatkala berkurang apa yang membuatmu bahagia, maka berkurang pula apa yang membuatmu sedih”.

Cuplikan di atas menunjukkan bahwa kebahagiaan seseorang ditentukan pada sedikit atau banyaknya cinta seseorang pada dunia seisinya. Penulis meyakini bahwa Syeh Ibnu Atha’illah tidak melarang manusia menjadi kaya atau memiliki segala hal yang membuatnya bahagia. Namun beliau mengingatkan bahwa semakin banyak manusia cinta pada dunia—dan itu membuatnya bahagia—maka semakin besar pula potensi kesedihan yang akan dialami jika suatu saat apa yang dicintai dan dimiliki hilang, dicuri, mati, hanyut, atau ditelan bumi.

Suasana pengajian itu hening karena para santri mendengarkannya dengan seksama. Tidak pada Sonya. Dia memilih duduk di paling pojok belakang. Bersandar pada dinding. Merintis impiannya. Alias tidur.

Sania yang masih berbaik hati mengajaknya mengaji, turut heran sama sikapnya.  Dia santriwati yang paling empati terhadap santri barunya. Ia sudah berusaha membujuknya memakai kerudung, tapi Sonya kekeh tidak mau. Ia berpikir, Sonya masih berproses di pesantren Al-Husna. Ia yakin Sonya pasti bisa berubah.

Selesai pengajian Al-Hikam beberapa jam kemudian, Sania membangunkannya. Kerudung yang cuma disampirkan di kepala, menjadi kalang kabut akibat tingkah tidurnya. Ia pun gelagapan terbangun.

"Sudah selesai?" tanya Sonya mengusap wajahnya.

"Sudah. Ayo kita balik ke asrama," ajak Sania, berusaha sabar dengan sikapnya di tengah santri lain memilih mengucilkannya karena kasus yang ia dapatkan.

Sonya hanya menganggukkan kepalanya karena rasa kantuk terus menyerangnya. Sampai tibanya di asrama, Bu nyai Hamidah datang. Santriwati yang mulanya bersantai di depan kamar. Menggelar karpet. Mereka sontak mengambil kerudung dan menanggalkannya di kepala. Mereka tertunduk sebagai penghormatan.

"Mbak-mbak, apakah ada yang mau salat jamaah dhuha dengan saya?" tanya Bu nyai Hamidah di tengah pintu belakang ndalem.

"Saya...saya...." Sonya yang baru keluar dari Aula langsung unjuk diri.

"Baiklah, Sonya. Segera ke ruang tengah ya?" pinta Bu nyai Hamidah.

"Iya Tante."

Sania langsung menyikut lengannya. Padahal kemarin-kemarin sudah diajari kalau memanggil Ibu Gus Faris bukan Tante melainkan Bu nyai Hamidah dengan bahasa krama.

"Injeh Bu nyai." seketika itu, Sonya meralat jawabannya.

Bu nyai Hamidah tersenyum mendengus melihat sedikit demi sedikit perubahannya. Beliau kembali masuk ke dalam mengambil wudhu. Ini kesempatan Sonya jika Gus Faris sulit ditaklukan, ia lewat jalan kedua orang tuanya.

GUS 24 KARATOnde histórias criam vida. Descubra agora