AIA-2

845 75 8
                                    

"... lo bisa tolongin gue, kan?" Nuca tiba-tiba menarik tangan Tenica dan meremasnya.

Tenica mengerjab. Dia menatap lelaki dengan senyum manis yang sekarang menatapnya penuh permohonan. Dia melirik tangannya dan mulai merasa jantungnya berdegup cepat.

"Gimana, mau?" tanya Nuca butuh diyakinkan.

"Iya." Tenica mengeluarkan katalog seukuran buku dan menyerahkan ke Nuca. "Maaf, waktu itu saya belum siap."

"Nggak masalah," jawab Nuca seraya menerima katalog itu. Dia memperhatikan cover berbentuk bunga di tengah. "Kenapa namanya Tree?"

"Mama yang ngasih nama."

"Oh, anak mama banget, nih?"

Tenica tidak begitu memedulikan. Dia mengambil tablet dan membuka galeri. "Ini beberapa foto dari klien kami." Lantas dia menunjukkan ke Nuca.

Nuca melirik sekilas lalu menyerahkan katalog itu kembali. "Gue serahin semuanya ke Henna. Biar dia yang urus."

"Terus, kenapa Anda mengajak saya bertemu?" tanya Tenica. "Harusnya ajak Kak Henna juga, kan?"

"Gue mau minta tolong satu lagi."

"Apa?" Belum apa-apa Tenica sudah merasa lelah.

Nuca memandang Tenica, merasa wanita itu bisa diandalkan. "Kalau dia mau apapun, iyain aja. Meski di WO lo nggak sediain itu."

"Saya sudah bilang, akan ada tambahan."

"Oke," jawab Nuca. "Lo nggak akan mundur, kan?"

"Tergantung klien bisa kerja sama atau enggak."

Nuca mengeluarkan ponsel dan membuka aplikasi M-banking. Setelah itu dia menyerahkan ke Tenica. "Tulis nominalnya. Sebagai DP."

Tenica mengerjab. Dia senang jika mendapat klien yang tidak gampang perhitungan. Namun, kliennya kali ini terkesan merendahkannya. Dia mendorong ponsel itu dan membuang muka. "Saya nggak mau disogok."

"Haha. Lo pinter juga ternyata." Nuca mengusap puncak kepala Tenica dengan gemas.

Tindakan itu membuat Tenica melotot. Dia paling tidak suka kepalanya diusap oleh orang asing. Dia segera mendorong tangan Nuca lantas pindah tempat. "Tolong yang sopan," pintanya setelah duduk di depan Nuca.

Nuca mengusap tangan kanannya yang barusan mengusap kepala Tenica. "Refleks aja," ujarnya. "Lo tahu, kan, physical touch?"

"Banyak orang modus yang berdalih physical touch!" jawab Tenica tajam.

"Gue beneran kayak gitu kok." Nuca mengambil minumannya dan menyeruputnya pelan. "Lo nggak mau pesen lagi?"

Tenica geleng-geleng. "Itu sebenarnya minuman saya," ujarnya. "Gelas dan piring kotor itu dari pengunjung sebelumnya."

"Hemp...." Nuca hampir tersedak. Dia mengusap minuman yang menetes di dagu lalu menatap Tenica. "Jadi, ini minuman lo?"

Tenica segera menunduk. "Jadi, intinya Anda mengajak saya ke sini untuk menuruti semua permintaan calon tunangan Anda dan menyogok saya, kan?"

"Jangan gitu! Lo terlalu serius."

"Saya memang serius," jawab Tenica. Dia terkenal serius di antara teman-temannya, bahkan teman adiknya. Dia kaku dengan banyak peraturan di hidupnya. Dia tidak bisa enjoy menikmati waktu tanpa rencana. Apapun itu, dia harus merencanakan lebih dulu.

Nuca tersenyum menatap wanita dengan panjang rambut setengah lengan dengan wajah tanpa senyum itu. Wanita itu tampak serius membicarakan pekerjaannya. Namun, ketika berkedip, tampak terlihat polos.

All in AllTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang