AIA-11

466 48 6
                                    

Sepulang dari meeting bersama Tenica, Nuca bergegas ke tempat Henna. Sayang, wanita yang dicari tidak ada. Akhirnya, dia memilih ke rumah orangtuanya. Sepanjang perjalanan dia memikirkan tentang tamu undangan. Entah apa maksudnya Henna tiba-tiba mengurangi jumlah tamu. Ah, bahkan sebelumnya wanita itu juga menentukan sendiri tanpa konfirmasi kepadanya.

"Nuca pulang?"

Nuca baru saja membelokkan mobil saat mendengar pertanyaan itu. Dia menoleh ke samping, melihat wanita mengenakan daster cokelat yang sedang menyiram tanaman. Dia memakirkan mobil di depan garasi lantas turun. Tanpa menyapa, dia segera masuk dan menuju ruang kerja papanya.

"Tumben kamu pulang?"

Langkah Nuca seketika terhenti. Dia menoleh ke arah kolam renang, melihat seorang lelaki yang duduk santai sambil membaca buku. Seketika dia mendekat dan duduk di samping papanya. "Papa nggak mau ikut campur ke acara pertunanganku?"

Papa Nuca menutup buku yang dibaca lalu menatap anak keduanya itu sambil tersenyum. "Papa serahin semuanya ke kamu."

"Papa nggak mau undang teman-teman Papa?"

"Nanti aja kalau kamu nikah," jawab Papa Nuca lantas menatap depan. "Kalau tunangan nggak perlu yang mewah. Baru nanti kalau pernikahan, boleh mewah."

"Tapi, Pa. Tetep aja itu penting."

"Gimana persiapannya? Udah berapa persen?"

Pandangan Nuca teralih ke wanita yang tadi menyiram tanaman. Dia segera membuang muka saat wanita itu duduk di sampingnya. "Sekitar enam puluh persen."

"Papa sama mama nggak akan undang temen. Cukup temen kalian aja," ujar Mama Nuca. "Dulu acara pertunangan nggak seheboh ini."

"Malah banyak yang langsung nikah." Papa Nuca menatap anaknya. "Kamu disuruh langsung nikah nggak mau."

"Dia maunya tunangan dulu, Pa."

"Oh, ya udah. Kalau gitu ikutin."

Nuca mengacak rambut. "Ya udah, cuma undang lima puluh orang. Saudara nggak diundang sekalian?"

Papa Nuca menepuk pundak anaknya. "Saudara Papa banyak di luar negeri. Lupa?"

"Iya, sih!" Nuca menggaruk kepala.

"Nanti, kalau nikah baru kita undang," jelas Papa Nuca. "Undang temen-temenmu aja."

"Kok tamu undangannya dikit banget, Ca?" Mama Nuca bersuara.

Nuca melirik sekilas. "Henna yang minta."

"Anak itu pasti mau agak tertutup." Papa Nuca terkekeh ingat dengan Henna, anak teman bisnisnya. "Dari dulu kamu suka dia. Gimana rasanya mau tunangan?"

"Ya, gitu." Nuca mengangkat bahu. Ada rasa antusias, tapi juga ada perasaan aneh yang tiba-tiba muncul.

"Nuca ya pasti seneng. Henna dari dulu dikejar," timpal Mama Nuca. "Bagus, deh, akhirnya Henna pilih kamu."

"Cewek emang gitu. Sok-sokan nolak, tapi akhirnya juga luluh." Papa Nuca menatap istrinya sambil menahan senyuman.

Nuca yang melihat dua orang itu saling pandang seketika berdiri. "Ya udah, aku balik."

"Kamu ke sini cuma mau ngomong itu aja?" tanya Mama Nuca.

"Oh, iya. Mungkin nggak ada seragam buat orangtua." Nuca kembali menatap kedua orangtuanya. "Henna pakai kebaya kuning, jadi sesuaiin aja warnanya." Setelah mengucapkan itu dia berjalan menjauh.

"Tenang aja. Mama udah siap-siap."

Tanpa merespons, Nuca berjalan keluar. Dia menatap ke sisi kanan rumah. Jendela itu tertutup rapat. Padahal, dulu ada seseorang yang sering duduk di sana sambil menatap tanamannya yang mengering. Nuca menunduk lantas buru-buru masuk mobil sebelum ada perasaan sesak yang hadir.

All in AllNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ