AIA-12

484 43 9
                                    

"Eh. Ngapain?"

Nuca menarik kaki Tenica dan melepas flatshoes yang dikenakan. "Coba, deh." Dia mencoba memasukkan kaki Tenica, tapi kaki itu terasa kaku. Lantas dia mendongak dan wanita itu menggeleng. "Coba!"

"Enggak usah!" Tenica membungkuk dan mendorong tangan Nuca. Setelah itu dia mundur selangkah dan menggapai flatshoes-nya.

"Lo kelihatan suka sama sepatu ini."

"Semua sepatunya baru, pasti gue suka," jawab Tenica lalu membuang muka. "Gue cuma lihat-lihat kok."

Nuca berdiri sambil memperhatikan sepatu yang masih dipegang. "Ada sale, nih. Nggak mau beli?"

Tenica menggeleng. "Sepatu saya masih ada yang bagus."

"Yang ini nggak dibeli? Sayang, loh."

"Jangan coba bujuk!" jawab Tenica sambil menatap Nuca. "Udah pilih sepatunya?"

Nuca mengembalikan sepatu biru itu dan mendekati pegawai. "Mbak, ukuran empat puluh tiga ada?"

"Sebentar...."

Tenica menatap Nuca sambil mengembuskan napas panjang. Sungguh dia kaget saat lelaki itu tiba-tiba hendak memakaikan sepatu. "Kalau ada yang tahu bisa salah paham."

"Apa?" Nuca menoleh karena mendengar suara Tenica.

"Nggak ada apa-apa."

"Tunggu situ bentar."

"Saya tunggu di luar, ya! Gerah." Tenica tidak bohong saat mengatakan itu. Tiba-tiba dia merasa di ruangan itu gerah. Dia menuju sisi samping toko lalu menggerakkan kausnya.

Tenica geleng-geleng, sepertinya memang dia harus menjaga jarak dengan Nuca. Bukannya takut jatuh hati, tapi enggan saja jika lelaki itu mendekat lalu ada orang yang salah menilai. Nuca kliennya dan dia harus menjaga perasan Henna.

"Ayo!" Beberapa menit kemudian Nuca keluar dengan tas biru berisi sepatu.

"Oke. Langsung ke lantai tiga." Tenica berbalik dan berjalan terburu-buru.

Nuca berjalan mengikuti. Dia menahan tawa melihat wanita itu tidak sabaran. Lantas dia mempercepat langkah hingga sampai di samping Tenica. "Nggak usah buru-buru."

"Enggak kok," jawab Tenica lantas bergeser agak jauh.

"Jawabnya enggak, tapi malah menjauh."

Tenica naik ke ekskalator tanpa peduli dengan Nuca. Dia bahkan sengaja berdiri di tengah agar lelaki itu tidak bisa berdiri di sampingnya. Begitu sampai di lantai tiga, Tenica kembali meninggalkan Nuca.

"Dia kenapa, sih?" Nuca memperhatikan Tenica yang melangkah lebar. Dia berlari mengejar lalu mengamit lengan Tenica. "Tunggu, dong!"

"Aduh, nggak usah pegang-pegang!" Tenica mendorong tangan Nuca.

"Habisnya gue ditinggal."

"Nggak usah kayak anak kecil, deh."

"Emang gue masih anak kecil," canda Nuca. Sayangnya, Tenica tidak tersenyum sedikitpun. "Ya udah, iya."

Tenica berjalan menuju toko di bagian tengah. Dia mendorong pintu dan disambut oleh pegawai dengan kemeja berwarna merah. Lantas dia menoleh ke Nuca. Terlihat pegawai itu tersenyum malu saat menatap Nuca.

"Di mana?" tanya Nuca.

Tangan Tenica bergerak ke arah belakang. Dia berjalan lebih dulu dan melihat deretan pernak-pernik yang menurutnya unik. "Nih, ada cangkir klasik."

Pandangan Nuca tertuju ke gelas yang ditunjuk Tenica. "Kayaknya ribet kalau itu," ujarnya lantas mengedarkan pandang. "Apa, nih?" Dia melihat sebuah kain yang dibentuk seperti kue.

All in AllWhere stories live. Discover now